Minggu, 18 Maret 2012

PERGURUAN TINGGI JANGAN HANYA MENCETAK SARJANA

OLEH; ABDUL MALIK, M.Ag., M.Pd

            Akhir-akhir ini publik NTB dan dunia akademisi dikejutkan oleh kasus oknum “dosen palsu” yang dilaporkan oleh sejumlah mahasiswa ke polisi lantaran melakukan penipuan berkedok jasa pembuatan skripsi. Fenomena tersebut sebenarnya fenomena yang tidak asing dan klasik di dunia Perguruan Tinggi atau akademis manapun. Plagiarisme adalah salah satu penyakit akademis yang belum disoroti secara serius oleh pemerintah sampai sekarang ini. Oleh sebab itu, para penikmat plagiat tersebut semakin tumbuh subur di dunia akademis. Kasus yang terjadi di salah satu Perguruan Tinggi di Mataram tersebut merupakan peristiwa gunung es yang melanda dunia Perguruan Tinggi di NTB sekarang ini yang sulit dipungkiri keberadaannya, oleh karena itu sejatinya pemerintah, Perguruan Tinggi, dan masyarakat (pengguna atau pemakai PT) seharusnya mengambil peran aktif untuk mewujudkan akademisi dan PT (Perguruan Tinggi) yang bebas dari budaya plagiarisme sekaligus  malapraktek pendidikan lainnya.
            Dewasa ini, menjamurnya kasus plagiarisme dikalangan mahasiswa dan dosen serta terjadinya malapraktek pendidikan dalam berbagai modus sesungguhnya bukan semata-mata kesalahan dari mahasiswa itu sendiri akan tetapi juga banyak kelemahan-kelemahan dari PT (Perguruan Tinggi) itu sendiri yang secara tidak langsung ataupun langsung membuka peluang terciptanya perilaku plagiarisme dan malapraktek pendidikan itu sendiri. Di antara kelemahan atau lebih tepatnya disebut sebagai “permasalahan” yang dihadapai oleh hampir semua Perguruan Tinggi sekarang ini adalah terjadinya pergeseran sekaligus distorsi fungsi dan tujuan dari Perguruan Tinggi itu sendiri. Hampir semua Perguruan Tinggi sekarang ini lebih berfungsi sebagai perusahaan yang memproduksi ijazah, nilai, gelar, dan “sarjana-sarjanaan”. Tidak heran kemudian, lembaga pendidikan menjelma mejadi mesin kapitalis, yaitu mesin untuk mencari keuntungan semata. Kapitalisme menjadikan pendidikan serta pengetahuan yang dihasilkan di dalamnya sebagai komoditi dalam rangka mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Padahal ketika merkantilisme pengetahuan dan kapitalisme menjadi fondasi dari institusi pendidikan, maka berbagai bentuk wacana komersial dan komodifikasi di cangkokkan ke dalam lembaga pendidikan sebagi alat untuk mencari keuntungan,  sehingga tanpa disadari tugas dan fungsi PT (Perguruan Tinggi) atau lembaga pendidikanpun telah sedang mengalami distorsi dari makna yang sesungguhnya.
Sekedar untuk mengingatkan kembali, bahwa kapitalisme adalah sebuah sistem ekonomi yang dibangun berdasarkan sebuah keyakinan laisssez faire, yang memberikan kepercayaan penuh pada mekanisme pasar dalam menentukan arah pertumbuhan ekonomi (Baca: Pasar bebas). Salah satu bentuk utama dari mekanisme pasar adalah mempertahankan agar pertumbuhan tetap berlangsung, oleh karena itu di satu pihak, industri harus tetap memproduksi dan di lain pihak masyarakat harus tetap mengkonsumsi. Oleh karena itu, dalam konteks ini suatu Perguruan Tinggi (PT) atau lembaga pendidikan harus tetap mewisudakan atau mencetak sarjana dengan cara apapun yang penting hasrat-hasrat masyarakat untuk meraih gelar sarjana tetap terpenuhi disamping meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Dunia pendidikan yang terperangkap di dalam mekanisme pasar, kemudian menjadikan prinsip-prinsip pasar sebagai prinsip dasar lembaga pendidikan tersebut maka dengan sendirinya tugas-tugas pokok lembaga pendidikan (Perguruan Tinggi) yang hakiki menjadi pudar bersama mesin-mesin kapitalis sejati untuk selamanya.
            Kondisi di atas menjadi semakin mapan ketika masyarakat kurang memiliki daya kontrol dan kritis terhadap peran Perguruan Tinggi atau lembaga pendidikan dalam mencetak manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa. Selain itu juga, masyarakat sebagai pengguna (user) sejatinya lebih selektif terhadap mutu Perguruan Tinggi yang ada, bukan justru “memanfaatkan” permasalahan Perguruan Tinggi tersebut sebagai peluang atau “jalan lurus” dan “mudah” untuk mendapatkan nilai, ijazah, dan wisudah secara prematur. Harus diakui, bahwa selama ini antara PT (Perguruan Tinggi) dan sebagian masyarakat terkesan memiliki bubungan mutalisme simbiosis dalam arti negatif, satu sisi Perguruan Tinggi atau lembaga pendidikan mencari keuntungan sebesar-besarnya sementara di sisi lain masyarakat menginginkan pendidikan yang cepat saji. Meningkatnya pemintaan gelar dan ijazah oleh masyarakat berdampak pula pada menjamurnya lembaga pendidikan yang menawarkan gelar dan ijazah tersebut dengan layanan mudah dan instan. Tidak heran kemudian sudah berapa banyak kasus ijazah palsu para pejabat akademis, dan politis yang terungkap selama ini.  Fenomena jual beli ijazah menurut Ronal Dore merupakan salah satu betuk the diploma diseases (penyakit ijazah), lazimnya penyakit ini tumbuh subur pada masyarakat kredensial (crdentials). Menurut Rendall Collin (1979), masyarakat kredensial adalah masyarakat yang menganggap bahwa ijazah salah satu yang penting  dalam usaha untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi, baik dalam lembaga sosial, politik, maupun lembaga pendidikan (Kompas, 15 Maret 2012). Hubungan berklindan antara masyarakat kredensial dengan Perguruan Tinggi berjiwa kapitalis ini, sesungguhnya semakin menjauhkan lembaga pendidikan atau Perguruan Tinggi (PT) dari tugas dan tanggung jawab pokok yang seharusnya diemban oleh semua lembaga pendidikan yang ada.
            Sejatinya, Perguruan Tinggi hadir bukan sekedar sebagai pajangan (pencitraan) dan mencari keuntungan semata-mata, melainkan bersama-sama dengan masyarakat menjadikan tata kehidupan yang lebih baik. Itulah mengapa, dalam salah satu tridarma perguruan tinggi ada pengabdian masyarakat (bukan pengabdian dalam arti sempit seperti pemahaman selama ini) akan tetapi dalam makan mutualisme simbiosis positif yang lebih holistik dan sistemik. Kemampuan PT (Perguruan Tinggi) membangun hubungan mutualisme simbiosis dengan masyarakat tersebut, menjadikan PT (Perguruan Tinggi) lebih bermakna dan bermanfaat bagi ummat manusia. Menurut Prof.Dr.Ir Dadan Umar D. DEA, Guru Besar Universitas Trisakti bahwa sebuah PT (Perguruan Tinggi) itu dipandang kalau memiliki buah pikiran, gagasan, dan pengembangan keilmuan yang dilakukannya untuk masyarakat luas. Pertanyaan mendasarnya adalah apa dan berapa buah pikir dan gagasan yang pernah dimunculkan oleh Perguruan Tinggi di NTB selama ini untuk kemasalahatan ummat ? Di Negera Prancis misalnya, ketika ada kereta cepat yang tergelincir, atau kecelakaan lainnya yang menyangkut kepentingan publik, pemerintah dan masyarkat betul-betul menyimak apa penjelasan dan kajian ilmuwan tentang kejadian tersebut. Perguruan Tinggi (Universitas) menjadi rujukan karena meyakini bahwa pembangunan kereta cepat benar-benar berdasarkan kajian imiah. Hal ini sungguh jauh berbeda dengan kondisi Perguruan Tinggi atau universitas yang ada di Indonesia. Peran Perguruan Tinggi terkesan hanya mencatak sarjana dan mengumpulkan keuntungan sebanyak-banyaknya, sementara banyak persoalan maha penting yang menyangkut hajat hidup masyarakat luas jutsru diselesaikan dengan politisi. Sehingga wajar, ketika banyak persoalan di negeri ini tidak kunjung selesai dan kalaupun selesai pasti menyisahkan masalah-masalah baru. Kondisi tersebut merupakan cerminan betapa Perguruan Tinggi sekarang ini  tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, kedepan  Perguruan Tinggi harus kembali kepada tugas dan fungsi pokonya seperti yang ditekankan dalam tridarma Perguruan Tinggi itu sendiri. Perguruan Tinggi harus terus berbenah dan mengembangkan diri sesuai dengan perkembangan jaman tanpa henti. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan kerja sama ataupun memperluas jaringan dalam berbagai bidang baik lokal maupu global dengan Perguruan Tinggi, perusahaan, pemerintah, dan masyarakat. Selain itu, kedepan Perguruan Tinggi harus serius dan berani menghidupkan budaya riset dan publikasi ilmiah dalam Perguruan Tinggi itu sendiri. Jika Perguruan Tinggi mampu melakukan tigal hal di atas dengan profesional dan konsisten maka akan terwujud Perguruan Tinggi yang berkualitas sekaligus berwibawa. Suatu Perguruan Tinggi itu apabila sudah menjadi lembaga pendidikan yang berkualitas, kredibel, dan berwibawa maka akan berdampak pada pencintraan postif di masyarakat. Serta berdampak pula pada kualitas dosen, kualitas tata kelola, serta kualitas output dan outcomenya. Kalau semua elemen Perguruan Tinggi mulai dari mahasiswa sampai rektornya mendukung terciptanya kondisi di atas maka segala penyakit dan malapraktek yang terjadi pada dunia Peguruan Tinggi akan dapat teratasi dengan baik. Riset, jaringan luas, publikasi ilmiah, dan dukungan masyarakat dan pemerintah menjadi modal untuk menjadi Perguruan Tinggi berkualitas dan berwibawa. Akhirnya, memang sejatinya Perguruan Tinggi tidak hanya mencetak sarajana, akan tetapi jauh lebih luas dan mulia dari pada itu, yakni menjadi tiang dari kemajuan peradaban manusia, hingga pada saatnya nanti masyarakat merasa beruntung memiliki Perguruan Tinggi di sekitarnya karena pada awalnya masyarakat dan Perguruan Tinggi tersebut telah terbangun hubungan yang baik .   
Penulis adalah Dosen IAIN Mataram sekaligus Pemerhati Pendidikan    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar