Tiga
Macam Type Guru (Pendidik) Dalam Mengajar dan Mendidik di Sekolah
Oleh
Abdul Malik, M.Ag., M.Pd
Pendidikan adalah selalu diidentikan
dengan pendidik atau dengan istilah populer adalah guru. Sejarah dan peradaban
manusia telah membuktikan bahwa guru telah mengambil peran yang besar dalam
mentransformasi dan membangun ilmu dan pengetahuan sampai saat ini. Apalagi
bagi bangsa yang belum memiliki budaya belajar mandiri dan memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap sosok seorang guru, maka peran gurupun
menjadi segala-galanya dalam memajukan pendidikan manusia. Tidak ada guru maka
tidak ada belajar, tidak ada guru maka tidak tidak ada generasi terdidik, dan
bahkan tidak ada guru maka tidak ada peradaban itu sendiri. Gedung sekolah atau
Perguruan Tinggi yang megah, kurikulum berkualitas, media belajarnya canggih, dan
peserta didik yang berpotensi semuanya akan menjadi tidak bermakna jika tidak
didampingi oleh guru-guru yang cerdas, kreatif, dan berakhlak mulia. Itulah
sebabnya kenapa pemerintah Indonesia menjadikan guru sebagai salah satu standar
nasional pendidikan yakni standar pendidik dan kependidikan dari delapan
standar nasional pendidikan yang ada. Bangsa manapun menempatkan guru sebagi
kunci dari kemajuan suatu bangsa itu sendiri. Bangsa Jepang misalnya, selain
memberikan penghargaan yang tinggi terhadap guru juga memberikan otoritas yang
luas terhadap peran, wewenang dan tanggung jawab seorang guru di dalam
pendidikan dan pengajaran. Di negara Jepang seorang guru berhak memarahi dan
menegur orang tua siswa (wali murid) apabila wali murid tersebut dianggap tidak
mampu mendidik anaknya di rumah. Peran dan tanggung jawab guru tersebut tentu memiliki
dasar hukum dan perangkat yang telah diatur oleh negara secara jelas dan
mengikat. Oleh sebab itu, dengan perangkat hukum yang jelas dan memihak pada
otoritas guru tersebut, maka secara langsung memberikan “ruang kebebasan” bagi
guru untuk memaksimalkan tanggung jawab dan peranannya dalam pendidikan dan
pengajaran.
Walaupun Indonesia belum mampu “memperlakukan”
guru seperti di Jepang, akan tetapi bangsa Indonesia semakin menyadari akan
peran strategis guru dalam membangun bangsa dan negara yang bermartabat sekaligus
beradab. Oleh sebab itu, sekarang ini
pemeritah sudah mulai memberikan perhatian yang besar pada guru. Perhatian
pemerintah ini setidaknya dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan pemerintah
yang lebih menghargai, mensejahterakan, dan mengembangkan kualitas guru akhir-akhir
ini dibandingkan dengan orde-orde sebelumnya. Diantaranya adalah lahirnya undang-undang
guru dan dosen no 14 tahun 2005. Begitupula kebijakan-kebijakan pemerintah di
bawah Undang-undang atau setingkat peraturan menteri yang mendukung kepentingan
profesi guru dan dosen saat sekarang. Pertanyaan yang paling mendasar terkait
dengan hal ini adalah kenapa keberadaan dan peran guru yang sangat fital
tersebut belum terasa ada hasil dan dampaknya yang signifikan pada pendidikan
sekarang ini? Terutama kualitas pendidikan dan IPM(Indek Prestasi Manusia) di
beberapa provensi tertinggal seperti NTB dan NTT misalnya. Rendahnya mutu SDM
atau Indeks Prestasi Manusia provensi NTB pada skala nasional hari ini,
merupakan salah satu indikator belum terasa dan berdampaknya peran guru sebagai
lokomotif utama dalam pembangunan manusia dan peradaban dewasa ini. Walaupun
pembangunan IPM tersebut bukanlah tanggung jawab guru semata, akan tetapi guru tetap
mengambil peran yang strategis dalam mempengaruhi tinggi rendahnya kualitas suatu
pendidikan secara keseluruhan. Oleh sebab itu, tidak ada jalan yang lain bagi
pemerintah atau siapapun yang ingin mengembangkan mutu manusia atau IPM kecuali
dengan meningkatkan mutu para pendidik atau guru.
Diantara masalah yang sering
dihadapi oleh guru sekaligus yang menjadi kebutuhan peserta didik adalah
kompetensi personal dan kompetensi pedagogik guru. Kadang-kadang problem yang
banyak muncu dalam kelas atau di sekolah disebabkan oleh persoalan cara atau
pendekatan serta kepribadian guru itu sendiri. Artinya, guru yang memiliki
kepribadian yang baik (kompetensi personalnya unggul) akan mampu memberikan
kenyamanan sekaligus cenderung dapat diterima oleh peserta didik dalam
pembelajaran di kelas. Sementara guru yang memiliki kemampuan mengajar (teaching competence)yang baik atau
dikenal dengan kompetensi pedagogik yang unggul, cenderung mampu mewujudkan gaya
pembelajaran yang inovatif dan kreatif sehingga dapat menyenangkan dan tidak
membosankan bagai siswa. Kemampuan mengajar (teaching competence) tidak hanya sebagai indikator profesionalitas
seorang guru akan tetapi menjadi alat penentu dari sukses atau tidaknya seorang
guru dalam mengajar. Kemampuan mengajar secara langsung terkait dengan segala
aspek atau komponen pembelajaran yang ada. misalnya kepribadian guru, latar
belakang pendidikan guru, kemampuan dalam pemanfaatan media belajar, dan
kemampuan guru dalam pengayaan
sumber belajar.
Kemampuan mengajar (teaching competence) lebih dipengaruhi dua
faktor utama. Pertama, faktor dari
dalam guru itu sendiri atau yang dikenal dengan soft skill. Faktor soft skill
ini terbentuk dari latar belakang pendidikan guru, karakter (bawaan) guru,
pengalaman, kecerdasaan dan, kepribadian guru itu sendiri. Adapun kompetensi yang
dihasilkan jika soft skill dikembangan
secara maksimal adalah guru memiliki pengaruh, kepercayaan, seni dan gaya
mengajar serta bijaksana, humoris, berwibawa, berakarter dan kharismatik, baik di
dalam kelas maupun di hadapan peserta didiknya. Dampak dari kemampuan mengelola
soft skill ini adalah guru akan lebih
dipercaya, didengar, disenangi, dipatuhi, dihormati, diterima, dan disegani
oleh peserta didik. Kedua adalah faktor
di luar guru itu sendiri atau yang disebut dengan hard skill. Faktor ini terbentuk dari lingkungan sekolah, cultur
sekolah, kurikulum, jenis media belajar, dan sumber belajar (literatur), dan karakteristik
peserta didik. kompetensi yang dihasilkan jika soft skill dikembangan secara maksimal adalah guru mampu melakukan
inovasi belajar, pengayaan sumber belajar, desain pembelajaran yang dibutuhkan,
mampu mengidentifkasi potensi dan karakteristik peserta didik, pemanfaatan
media belajar, inovasi strategi dan pendekatan belajar, serta pengelolaan kelas
dan penguasaan materi. Oleh sebab itu, kemampuan guru mengembangkan faktor soft skill dan hard skill secara bersamaan dalam pendidikan dan pengajaran akan
menghasilkan kesuksesan dan profesionaliatas guru itu sendiri.
Tidak hanya itu, kemampuan guru
mengembangkan dan mengelola dua faktor di atas pada akhirnya melahirkan
perbedaan typelogi yang mendasar dari guru itu sendiri dalam pengajaran dan pendidikan
di sekolah. Oleh karena itu, dalam
konteks di atas,
meminjam istilah fiqh maka guru dapat dibagi ke dalam tiga type guru pertama,
type “guru makruh”. Guru makruh adalah guru yang keberadaan dan kehadiranya
di hadapan peserta didik dan lingkungan sekolah hanya memberikan beban dan
ketakutan pada peserta didiknya. Artinya guru yang makruh tersebut tidak
memiliki kontribusi dan manfaat bagi siswa-siswanya, justru guru tersebut membawa
kemudaratan bagi siswa-siswanya. Sehingga kemudian tidak dikehendaki
ketidakhadiranya dalam kelas, artinya ketika guru tersebut hadir dalam kelas,
maka tidak disenangi kehadiranya dan kalau tidak hadir dalam kelas maka
dirayakan ketidakhadirannya oleh siswa. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Rasulullah bahwa “seburuk-buruknya manusia adalah manusia yang membuat
malapetaka bagi manusia sekitarnya.
Ada banyak ciri-ciri untuk mengidentifikasi bahwa guru
tersebut adalah guru makruh, diantaranya;
1)
Kepribadiannya lebih ditakuti dari
pada dihormati oleh peserta didik.
2) Tidak memiliki ikatan dan hubungan
emosional dengan peserta didik. Hubungan dengan siswanya terjadi secara mekanik
bukan humanis
3) Pembelajaran yang dilakukan terasa
kaku dan terjadi transformasi sikap dan pengatahuan secara “paksa” bagi peserta
didik. Sehingga
pada akhirnya tidak membekas pada peserta didik
4) Keberadaanya dalam kelas lebih
banyak menuntut untuk didengar dan ditakutkan dari pada berusaha mendengar dan
saling menghargai.
5) Pengajaran yang dilakukan tidak
berorientasi pada permasalahan dan kebutuhan peserta didik tetapi berorientasi
pada guru tersebut
6) Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan pembelajaran otoriter
dan berpusat pada guru.
7) Pengajaran yang dilakukan tidak
berdampak dan tidak mendapatkan simpatik dari peserta didik.
8)
Proses belajar yang dilakukan hanya
untuk menggugurkan kewajiban semata.
9)
Keberadaannya dalam kelas
menimbulkan ketidaknyamanan sekaligus membosankan bagi peserta didik.
10) Tidak
terjadinya interaksi mutualisme-konstruktif dalam kelas mauapun diluar kelas.
11) Guru
makruh tersebut akan dikenang oleh siswanya karena keburukannya
“Guru makruh” ini ketika tidak dapat hadir di
sekolah, peserta didiknya merasa bersyukur dan berharap agar guru tersebut
tidak dapat masuk selama-lamanya. Peserta didik merasa dirugikan atas
kehadiranya. Begitu juga sebaliknya, ketika guru tersebut hadir, peserta
didiknya tidak merasa diuntungkan atas kehadiranya. Matakuliah atau pelajaran
yang berat semakin sulit dirasakan oleh peserta didik ketika diajar oleh guru makruh
tersebut. Kemudian fakta yang lain terkait dengan hal ini adalah kadang guru
makruh lebih “senang” dan “bangga” apabila “ditakutin” atau mampu “menakuti”
peserta didiknya. Padahal kalau menggunakan paradigma pendidikan dewasa ini,
kondisi tersebut merupakan awal kegagalan guru yang sangat besar. Intinya guru makruh ini adalah
tidak memiliki manfaat bahkan hanya membawa kemudaratan bagi peserta didiknya.
Misalnya beban psikologis, teror mental, kekerasan fisik, dan pembunuhan
karakter.
Kedua guru sunnah,
adalah guru yang keberadaan dan kehadirannya di sekolah tidak menjadi masalah
bagi siswanya, begitupula ketidakhadiran atau ketiadaan dirinya di kelas
(sekolah) juga tidakpula menjadi masalah
bagi siswanya. Artinya kehadirannya (keberadaan) dirinya memberikan manfaat
pada siswa akan tetapi ketidakadaan atau
kehadirinya tidak memberikan mudarat atau merugikan siswa. Kecenderungan guru
sunnah ini, tidak berimplikasi banyak pada peningkatan pengetahuan dan perubaha
sikap peserta didik, akan tetapi juga tidak berdampak buruk pada peserta didik.
Keberadaan guru tersebut dalam kelas atau dihadapan peserta didiknya sama
halnya dengan ketiadaanya. Semuanya berjalan “biasa-biasa saja” tidak ada yang
baru, tidak ada inovasi dan kreativitas. Semester sekarang sama dengan semester
kemarin, tidak menakutkan juga tidak menyenangkan, semuanya berjalan dengan
biasa dan datar. Kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan Rasulullah bahwa
“ manusia yang paling rugi adalah manusia yang tidak memberikan manfaat buat
orang lain”.
Adapun ciri-ciri untuk mengukur bahwa guru tersebut
adalah guru sunah, diantaranyaa adalah;
1.
Kepribadiannya biasa, tidak
disenangi juga tidak dibenci
2.
Hubungan emosional antara guru
tersebut dengan siswanya tidak terlalu dekat.
3.
Pendekatan pembelajaran yang
dilakukan terkesan monologis pasif
4.
Pada saat proses belajar
berlangsung peserta didik lebih senang belajar mandiri dan berkelompok
5.
Pola mengajar guru tersebut
bersifat teks book oriented
6.
Pembelajaran berbasis materi an sich
7.
Pelaksanaan tugas besumber dari
kewajiban yang dibebankan semata bukan dari dalam jiwa atau semangat dari
dalam.
8.
Semangat dan motivasi belajar
peserta didik cukup rendah khusus dalam kelas guru yang bersangkutan.
9.
Hubungan yang dibangun berdasarkan
kepentingan guru dan murid semata. Artinya guru sudah mengajar apa dan siswa
sudah bisa apa
10. Selalu
taat pada tuntutan kurikulum artinya memaknai tuntutan kurikulum secara kaku
dan dogmatis.
“Guru sunnah” pada umumnya memiliki
manfaat yang cukup minim yang diperoleh peserta didiknya. Pola mengajar dengan
mengikuti jadwal yang telah ditetapkan adalah kebiasaan guru sunnah untuk
mempertanggung jawabkan waktu yang ada (untuk tidak mengatakan menghabiskan
waktu)dalam kelas. Sayangnya, banyak guru yang menghabiskan waktu mengajar
dalam kelas tanpa memperhatikan tercapaianya tujuan belajar, perubahan
kemampuan peserta didik, kenyamanan belajar sisiwa, dan evaluasi diri guru yang
bersangkutan.
Selain itu, Guru sunnah dalam hal
ini lazimnya lebih memilih zona aman dalam melakukan proses belajar mengajar.
“Zona kenyamanan” yang dimaksud adalah di mana
guru tersebut berusaha untuk tidak melibatkan diri pada
permasalahan-permaslahan dan tugas yang dihadapi oleh peserta didik secar
akatif. Dampak dari pilihan ataupun
kepribadian seperti ini maka guru tersebut melakukan “Pembiaran” sekaligus
“tidak mau tahu” terhadap proses belajar berlangsung. Berhasil atau tidak
peserta didiknya itu urusan pesrta didik itu sendiri, siswa paham atau tidak
bukan menjadi “rasa ingin tahunya
guru bersangkutan. Padahal
idialnya seorang guru harus memiliki rasa ingin tahu sekaligus bertanggung
jawab terhadap perkembangan peserta didiknya.
Kondisi lingkungan belajar yang
diciptakan oleh guru di atas,
tentu sangat tidak “mendukung” maka dengan sendirinya menciptakan respon yang
searah dari peserta didik. Artinya ketika guru tersebut mengajar dengan
antusias, niat yang tulus, berpikir positif terhadap potensi siswa, dan opitimisme
yang tinggi maka peserta didik akan belajar dan merespon dengan hal yang sama,
begitu juga sebaliknya. Oleh sebab itu, setelah peserta didik menyelesaikan
studinya di sekolah tersebut, biasanya guru sunnah ini cepat dilupakan oleh
mantan siswanya. Ini semua karena tidak ada prestasi, tidak ada kenangan, tidak
ada yang membekas, tidak ada nasehat yang membumi, dan tidak ada sejarah yang
harus diingat dan dibicarakan. Semuanya tidak ada yang terkesan.
Ketiga guru wajib, yakni
guru yang kehadirannya selalu memberikan manfaat yang banyak bagi peserta
didiknya. Ketika guru tersebut hadir di kelas maka selalu disenangi dan
dibutuhkan oleh peserta didiknya. Sementara ketika guru wajib tersebut tidak
dapat hadir maka peserta didiknya merasa kehilangan sekaligus merasakan
kerugian yang besar. Hal ini sesuai pernyataan Rasulullah “Bahwa kehilangan
(kematian) para alim ulama pada suatu kaum merupakan musibah besar bagi kaum
tersebut”. Ini berarti keberadaan para alim ulama atau dalam konteks ini adalah
guru yang bermanfaat bagi orang lain merupakan suatu keuntungan besar bagi
peserta didikknya. Sementara kehilangan guru tersebut merupakan musibah bagi
peserta didiknya. Hal ini diperkuat oleh pernyataan rasulullah yang lain “
bahwa sebaik-baiknya manusia itu adalah yang banyak bermanfaat buat manusia
lainnya”.
Tidak hanya itu, guru wajib ini
selain memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas, juga memiliki kepribadian
yang menyenangkan bagi peserta didik dan lingkungannya. Sehingga wajar
keberadaanya selalu mudah diterima oleh lingkungan dan peserta
didiknya. Karena
itu pula, tidak ada orang yang tersakiti atau tersinggung dengan keberadaanya.
Setiap pembicaraan dan perilakunya memiliki hikmah, oleh sebab itu guru wajib
selalu membicarakan kebaikan, kemajuan, solusi dan tantangan pekerjaan.
Berusaha menjauhi pembicaraan yang sia-sia dan membuang waktu. Guru wajib
merupakan pribadi yang dinamis sehingga memperbaiki diri secara terus menerus
adalah pekerjaan rumah yang terus dilakukan dalam hidupnya.
Adapun ciri-ciri untuk mengukur bahwa guru tersebut
adalah guru wajib,
diantaranya adalah;
1.
Menjalankan tugas mengajar dan
mendidik karena Allah SWT (benar-benar meniatkan karena Allah SWT)
2.
Tulus dan ikhlas dalam mengajar dan
mendidik
3.
Apa yang dilakukan segalanya
bertujuan; kepribadiannya memberikan teladan, bicaranya memberikan manfaat,
pandanganya memberikan makna ketulusan, gerakan badanya (body languange)
membantu memberikan pemahaman, pakaiannya membawakan contoh dan makna yang
hidup.
4.
Selalu menjadi pendengar yang baik
bagi peserta didiknya
5.
Menjadi motivator, idola, yang
dipercaya oleh peserta didiknya
6.
Memiliki rasa ingin tahu dan rasa
tanggung jawab terhadap peserta didiknya
7.
Secara emosional memiliki kedekatan
dengan peserta didiknya dalam kelas dan diluar kelas (hubungan humanis bukan
hubungan mekanis)
8.
Setiap pembelajaran selalu
memberikan makna dan pengalaman bagi peserta didiknya.
9.
Pembelajaran yang aktif dan
menyenangakan
10. Pembelajaran
yang berbasiskan kebutuhan dan masalah peserta didiknya.
Guru wajib adalah guru yang diharapkan oleh
peserta didik, orang tua siswa, masyarakat dan negara. Guru wajib adalah
“harapan” itu sendiri, sehingga guru tersebut menyadari bahwa dirinya adalah
harapan semua orang. Guru wajib memiliki
pribadi yang terbuka, humoris, kreatif dan oleh karena itu selalu menyenangkan
dalam setiap interaksi mengajarnya. Lazimnya mata pelajaran yang dianggap sulit
akan selalu mudah dipahami dan disenangi oleh peserta didiknya selama guru wajib
tersebut mengajar. Hasil survei membuktikan bahwa mata pelajaran eksakta
(Matematika, Kimia, Fisika) adalah mata pelajaran yang paling “ditakuti dan
sulit” menurut sebagian besar peserta didik. Akan tetapi terjadi perubahan dan
pergeseran paradigma ketika guru wajib tersebut mengajarkannya. Kenapa? Karena
guru wajib sangat menjiwai apa yang disebut dengan “dasar profesionalisme
keguruan” yaitu caracter building, learning competence, dan learning capability.Dengan mengenal tiga
type guru di atas maka dapat menjadi alat instropeksi bagi setiap guru untuk
menuju guru yang wajib keberadaanya, wajib dibutuhkan, dan wajib ilmunya.
Semoga.
Penulis adalah Dosen IAIN Mataram sekaligus
pemerhati pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar