Minggu, 18 Maret 2012

PERGURUAN TINGGI JANGAN HANYA MENCETAK SARJANA

OLEH; ABDUL MALIK, M.Ag., M.Pd

            Akhir-akhir ini publik NTB dan dunia akademisi dikejutkan oleh kasus oknum “dosen palsu” yang dilaporkan oleh sejumlah mahasiswa ke polisi lantaran melakukan penipuan berkedok jasa pembuatan skripsi. Fenomena tersebut sebenarnya fenomena yang tidak asing dan klasik di dunia Perguruan Tinggi atau akademis manapun. Plagiarisme adalah salah satu penyakit akademis yang belum disoroti secara serius oleh pemerintah sampai sekarang ini. Oleh sebab itu, para penikmat plagiat tersebut semakin tumbuh subur di dunia akademis. Kasus yang terjadi di salah satu Perguruan Tinggi di Mataram tersebut merupakan peristiwa gunung es yang melanda dunia Perguruan Tinggi di NTB sekarang ini yang sulit dipungkiri keberadaannya, oleh karena itu sejatinya pemerintah, Perguruan Tinggi, dan masyarakat (pengguna atau pemakai PT) seharusnya mengambil peran aktif untuk mewujudkan akademisi dan PT (Perguruan Tinggi) yang bebas dari budaya plagiarisme sekaligus  malapraktek pendidikan lainnya.
            Dewasa ini, menjamurnya kasus plagiarisme dikalangan mahasiswa dan dosen serta terjadinya malapraktek pendidikan dalam berbagai modus sesungguhnya bukan semata-mata kesalahan dari mahasiswa itu sendiri akan tetapi juga banyak kelemahan-kelemahan dari PT (Perguruan Tinggi) itu sendiri yang secara tidak langsung ataupun langsung membuka peluang terciptanya perilaku plagiarisme dan malapraktek pendidikan itu sendiri. Di antara kelemahan atau lebih tepatnya disebut sebagai “permasalahan” yang dihadapai oleh hampir semua Perguruan Tinggi sekarang ini adalah terjadinya pergeseran sekaligus distorsi fungsi dan tujuan dari Perguruan Tinggi itu sendiri. Hampir semua Perguruan Tinggi sekarang ini lebih berfungsi sebagai perusahaan yang memproduksi ijazah, nilai, gelar, dan “sarjana-sarjanaan”. Tidak heran kemudian, lembaga pendidikan menjelma mejadi mesin kapitalis, yaitu mesin untuk mencari keuntungan semata. Kapitalisme menjadikan pendidikan serta pengetahuan yang dihasilkan di dalamnya sebagai komoditi dalam rangka mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Padahal ketika merkantilisme pengetahuan dan kapitalisme menjadi fondasi dari institusi pendidikan, maka berbagai bentuk wacana komersial dan komodifikasi di cangkokkan ke dalam lembaga pendidikan sebagi alat untuk mencari keuntungan,  sehingga tanpa disadari tugas dan fungsi PT (Perguruan Tinggi) atau lembaga pendidikanpun telah sedang mengalami distorsi dari makna yang sesungguhnya.
Sekedar untuk mengingatkan kembali, bahwa kapitalisme adalah sebuah sistem ekonomi yang dibangun berdasarkan sebuah keyakinan laisssez faire, yang memberikan kepercayaan penuh pada mekanisme pasar dalam menentukan arah pertumbuhan ekonomi (Baca: Pasar bebas). Salah satu bentuk utama dari mekanisme pasar adalah mempertahankan agar pertumbuhan tetap berlangsung, oleh karena itu di satu pihak, industri harus tetap memproduksi dan di lain pihak masyarakat harus tetap mengkonsumsi. Oleh karena itu, dalam konteks ini suatu Perguruan Tinggi (PT) atau lembaga pendidikan harus tetap mewisudakan atau mencetak sarjana dengan cara apapun yang penting hasrat-hasrat masyarakat untuk meraih gelar sarjana tetap terpenuhi disamping meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Dunia pendidikan yang terperangkap di dalam mekanisme pasar, kemudian menjadikan prinsip-prinsip pasar sebagai prinsip dasar lembaga pendidikan tersebut maka dengan sendirinya tugas-tugas pokok lembaga pendidikan (Perguruan Tinggi) yang hakiki menjadi pudar bersama mesin-mesin kapitalis sejati untuk selamanya.
            Kondisi di atas menjadi semakin mapan ketika masyarakat kurang memiliki daya kontrol dan kritis terhadap peran Perguruan Tinggi atau lembaga pendidikan dalam mencetak manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa. Selain itu juga, masyarakat sebagai pengguna (user) sejatinya lebih selektif terhadap mutu Perguruan Tinggi yang ada, bukan justru “memanfaatkan” permasalahan Perguruan Tinggi tersebut sebagai peluang atau “jalan lurus” dan “mudah” untuk mendapatkan nilai, ijazah, dan wisudah secara prematur. Harus diakui, bahwa selama ini antara PT (Perguruan Tinggi) dan sebagian masyarakat terkesan memiliki bubungan mutalisme simbiosis dalam arti negatif, satu sisi Perguruan Tinggi atau lembaga pendidikan mencari keuntungan sebesar-besarnya sementara di sisi lain masyarakat menginginkan pendidikan yang cepat saji. Meningkatnya pemintaan gelar dan ijazah oleh masyarakat berdampak pula pada menjamurnya lembaga pendidikan yang menawarkan gelar dan ijazah tersebut dengan layanan mudah dan instan. Tidak heran kemudian sudah berapa banyak kasus ijazah palsu para pejabat akademis, dan politis yang terungkap selama ini.  Fenomena jual beli ijazah menurut Ronal Dore merupakan salah satu betuk the diploma diseases (penyakit ijazah), lazimnya penyakit ini tumbuh subur pada masyarakat kredensial (crdentials). Menurut Rendall Collin (1979), masyarakat kredensial adalah masyarakat yang menganggap bahwa ijazah salah satu yang penting  dalam usaha untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi, baik dalam lembaga sosial, politik, maupun lembaga pendidikan (Kompas, 15 Maret 2012). Hubungan berklindan antara masyarakat kredensial dengan Perguruan Tinggi berjiwa kapitalis ini, sesungguhnya semakin menjauhkan lembaga pendidikan atau Perguruan Tinggi (PT) dari tugas dan tanggung jawab pokok yang seharusnya diemban oleh semua lembaga pendidikan yang ada.
            Sejatinya, Perguruan Tinggi hadir bukan sekedar sebagai pajangan (pencitraan) dan mencari keuntungan semata-mata, melainkan bersama-sama dengan masyarakat menjadikan tata kehidupan yang lebih baik. Itulah mengapa, dalam salah satu tridarma perguruan tinggi ada pengabdian masyarakat (bukan pengabdian dalam arti sempit seperti pemahaman selama ini) akan tetapi dalam makan mutualisme simbiosis positif yang lebih holistik dan sistemik. Kemampuan PT (Perguruan Tinggi) membangun hubungan mutualisme simbiosis dengan masyarakat tersebut, menjadikan PT (Perguruan Tinggi) lebih bermakna dan bermanfaat bagi ummat manusia. Menurut Prof.Dr.Ir Dadan Umar D. DEA, Guru Besar Universitas Trisakti bahwa sebuah PT (Perguruan Tinggi) itu dipandang kalau memiliki buah pikiran, gagasan, dan pengembangan keilmuan yang dilakukannya untuk masyarakat luas. Pertanyaan mendasarnya adalah apa dan berapa buah pikir dan gagasan yang pernah dimunculkan oleh Perguruan Tinggi di NTB selama ini untuk kemasalahatan ummat ? Di Negera Prancis misalnya, ketika ada kereta cepat yang tergelincir, atau kecelakaan lainnya yang menyangkut kepentingan publik, pemerintah dan masyarkat betul-betul menyimak apa penjelasan dan kajian ilmuwan tentang kejadian tersebut. Perguruan Tinggi (Universitas) menjadi rujukan karena meyakini bahwa pembangunan kereta cepat benar-benar berdasarkan kajian imiah. Hal ini sungguh jauh berbeda dengan kondisi Perguruan Tinggi atau universitas yang ada di Indonesia. Peran Perguruan Tinggi terkesan hanya mencatak sarjana dan mengumpulkan keuntungan sebanyak-banyaknya, sementara banyak persoalan maha penting yang menyangkut hajat hidup masyarakat luas jutsru diselesaikan dengan politisi. Sehingga wajar, ketika banyak persoalan di negeri ini tidak kunjung selesai dan kalaupun selesai pasti menyisahkan masalah-masalah baru. Kondisi tersebut merupakan cerminan betapa Perguruan Tinggi sekarang ini  tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, kedepan  Perguruan Tinggi harus kembali kepada tugas dan fungsi pokonya seperti yang ditekankan dalam tridarma Perguruan Tinggi itu sendiri. Perguruan Tinggi harus terus berbenah dan mengembangkan diri sesuai dengan perkembangan jaman tanpa henti. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan kerja sama ataupun memperluas jaringan dalam berbagai bidang baik lokal maupu global dengan Perguruan Tinggi, perusahaan, pemerintah, dan masyarakat. Selain itu, kedepan Perguruan Tinggi harus serius dan berani menghidupkan budaya riset dan publikasi ilmiah dalam Perguruan Tinggi itu sendiri. Jika Perguruan Tinggi mampu melakukan tigal hal di atas dengan profesional dan konsisten maka akan terwujud Perguruan Tinggi yang berkualitas sekaligus berwibawa. Suatu Perguruan Tinggi itu apabila sudah menjadi lembaga pendidikan yang berkualitas, kredibel, dan berwibawa maka akan berdampak pada pencintraan postif di masyarakat. Serta berdampak pula pada kualitas dosen, kualitas tata kelola, serta kualitas output dan outcomenya. Kalau semua elemen Perguruan Tinggi mulai dari mahasiswa sampai rektornya mendukung terciptanya kondisi di atas maka segala penyakit dan malapraktek yang terjadi pada dunia Peguruan Tinggi akan dapat teratasi dengan baik. Riset, jaringan luas, publikasi ilmiah, dan dukungan masyarakat dan pemerintah menjadi modal untuk menjadi Perguruan Tinggi berkualitas dan berwibawa. Akhirnya, memang sejatinya Perguruan Tinggi tidak hanya mencetak sarajana, akan tetapi jauh lebih luas dan mulia dari pada itu, yakni menjadi tiang dari kemajuan peradaban manusia, hingga pada saatnya nanti masyarakat merasa beruntung memiliki Perguruan Tinggi di sekitarnya karena pada awalnya masyarakat dan Perguruan Tinggi tersebut telah terbangun hubungan yang baik .   
Penulis adalah Dosen IAIN Mataram sekaligus Pemerhati Pendidikan    

Kamis, 15 Maret 2012

POLEMIK “PERJALANAN” SERTIFIKASI GURU DI NEGERI PARA GURU

Oleh Abdul Malik. M.Ag., M.Pd
            Issu-issu pendidikan apapun bentuknya, selalu menjadi perbincangan yang hangat dan menarik di ruang publik.  Kenapa? Karena  memperbicangkan pendidikan adalah memperbincangkan masalah manusia dan kehidupan itu sendiri. Akhir-akhir ini, guru dikagetkan dengan adanya kebijakan pemerintah tentang uji kompetensi bagi guru yang ikut sertifikasi. Kebijakan tersebut sesungguhnya masih satu paket dengan kebijakan tentang sertifikasi guru melalui sistem penilaian protofolio dan PLPG yang pernah dilakukan selama ini. Kalau dikaji secara kritis kebijakan sertifikasi guru masih banyak yang harus diperbaharui dan diperbaiki. Baik berkaitan dengan konsep, proses, maupun sistem evaluasinya. Sebagai contoh pelaksanaan sertifikasi guru melalui jalur protofolio selama ini justru memunculkan problem baru. Diantaranya adalah  terbukanya peluang manipulasi data bagi oknum-oknum guru, kemudian terbukanya peluang bagi oknum asesor untuk melakukan penilaian protofolio secara tidak profesional. Karena bagaimanapun sistem penggajian asessor disesuaikan dengan jumlah protofolio yang diperiksa, artinya semakin banyak lembaran protofolio yang diperiksa maka semakin tinggi pembayarannya. Sehingga dalam penilaiannya ada beberapa oknum asesor yang melakukan penilaian dengan mentargetkan banyaknya protofolio yang diperiksa bukan mentargetkan kualitas dan kevalidan dari pada hasil pemeriksaan. Kemudian  kebijakan sertifikasi berbasis protofolio tersebut dimanfaatkan oleh beberapa LSM dan lembaga tertentu untuk meraih keuntungan dengan imbalan menerbitkan sertifikat guna memenuhi hasrat guru yang mengumpulkan “poin”. Hal ini dilakukan dengan mengadakan seminar nasional, internasional, workshop, dan sebagainya. Ironisnya kemudian, tidak sedikit lembaga-lembaga tersebut “memperdagangkan” sertifikat kepada guru. Tentu hal ini disambut baik oleh oknum guru “bak gayung bersambut”.  Apa yang dilakukan oleh LSM dan lembaga diatas pada dasarnya, tidak dapat disalahkan sepenuhnya karena memang regulasi dari pemerintah tentang lembaga yang berhak untuk mengadakan dan mengeluarkan sertifikat pelatihan, seminar, loka karya dan  workshop sangatlah tidak jelas.Terlepas dari itu semua, bahwa hasil pelaksanaan sertifikasi dengan jalur penilaian protofolio selama ini adalah tidak signifikan. Hal tersebut merupakan cerminan dari kelemahan perangkat sertifikasi yang berbasis penilaian protofolio yang telah dilaksanakan. Serta cerminan dari tidak adanya kesadaran kolektiv yang dimiliki masyarakat untuk sama-sama membangun kualitas pendidikan itu sendiri.
            PLPG Ternyata Tidak Meningkatkan Kualitas Guru                            
            PLPG adalah jalur lain dalam sertifikasi guru. Tidak jauh berbeda dengan protofolio, kebijakan PLPG pun masih memiliki banyak kekurangan dalam mengembangkan kompetensi dan profesionalisme guru. Diantara  kelemahan tersebut adalah pertama, terkait dengan kompetensi dan kapabelitas oknum LPTK sebagai penyelenggara pelatihan guru baik yang dibawah naungan Diknas maupun Depag. Terkait dengan hal ini, banyak keluhan guru berkaitan dengan kualitas SDM LPTK yang memberikan pelatihan. Kedua berkaitan dengan materi pelatihan yang disiapkan oleh panitia, kebanyakan materi sudah out of date. Hal ini terjadi lantaran kurikulum dan perangkat pembelajaran yang diajarakan di sekolah sudah jauh berkembang ketimbang apa yang diajarkan di Perguruan Tinggi (PT). Oleh sebab itu, sejatinya PT harus lebih cepat melakukan penyelarasan kurikulum sehingga kemudian, apa yang akan diberikan kepada guru dalam pelatihan tersebut benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan guru. Ketiga terkait dengan kualitas sistem pelaksanaan sertifikasi guru secara menyeluruh. Terlepas adanya tujuan baik dibalik sertifikasi, pelaksanaan program sertifikasi sekarang ini masih terkesan “penyelesaian proyek”. Kesan seperti itu secara langsung sebenarnya mereduksi nilai-nilai dari pelaksanaan sertifikasi itu sendiri. Artinya pelaksanaan sertifikasi harus benar-benar dilaksanakan secara profesional dan all out. Sehingga dengan demikian tujuan utama untuk meningkatkan kompetensi guru itu dapat diwujudkan. Sampai saat ini, belum ada bukti otentik adanya signifikansi dan korelasi positif antara guru yang telah disertifikasi (PLPG) dengan meningkatnya kualitas profesionalisme guru. Justru sertifikasi ini masih banyak menyisahkan masalah yang berkaitan dengan konsep dan kualitas. Oleh sebab itu, pemerintah sampai saat ini terus memperbaikinya hingga munculah uji kompetensi yang berpolemik itu.Terlepas dari kualitas seluruh rangkaian proses sertifikasi, sejak awal munculnya kebijakan sertifikasi itu ada, dilandasi oleh kepentingan yang beragam; baik itu politik partai tertentu, kesejahteraan guru, maupun peningkatan profesionalisme guru. Fokus dalam tulisan ini adalah peningkatan profesionalisme guru. Diakui atau tidak, sesugguhnya kualitas guru akan sulit terwujud bila diharapkan hanya dari PLPG semata, selama dukungan masyarakat luas tidak ada dan perangkat penjaminan mutu tersebut tidak di sempurnakan.
Sejarah telah membuktikan bahwa terwujudnya mutu, sikap profesionalisme, dan budaya mutu pada suatu lembaga terlahir dari rentetan proses panjang yang terukur. Sikap profesional misalnya, adalah lahir dari akumulasi niat dan kesadaran personal yang pada gilirannya membentuk niat, kesadaran, dan tujuan kolektive. Oleh sebab itu, instrumen peningkatan mutu yang  membias dengan kepentingan yang lain dan sesaat cenderung gagal dalam membangun sikap profesionalisme. Negara dan bangsa yang maju dan beradab dewasa ini adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai budaya profesionalisme, disiplin, dan suportivitas yang tinggi. Semua ini akan dicapai, apabila suatu bangsa tersebut memiliki kesadaran kolektiv yang tinggi, political will, visi dan misi yang jelas, dan budaya penegakan hukum yang konsisten.
Ujia Kompetensi; Tantangan Baru dan Masalah Baru
            UU Guru dan Dosen mewajibkan setiap guru untuk diuji kompetensinya. Dengan demikian, uji kompetensi bersifat mengikat bagi semua guru, baik guru yunior maupun guru senior, bahkan guru yang tinggal beberapa tahun lagi pensiun. Dengan jalan uji kompetensi, kegiatan belajar mengajar dapat dipertanggungjawabkan secara akademik terhadap generasi muda. Uji kompetensi bukan merupakan sesuatu yang perlu ditakuti oleh guru. Uji kompetensi justru dapat memberikan tiga hal yang bermanfaat bagi guru. Pertama, guru dapat merefleksikan potensi dan kompetensi yang dimilikinya. Kedua, dengan mengetahui kompetensi dirinya, guru dapat mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan kebutuhan pembelajaran. Ketiga, diharapkan dengan hasil kompetensi yang baik, guru akan mudah mendapatkan sertifikasi pendidikan yang akhirnya akan bermuara pada peningkatan kesejahteraan guru sesuai dengan yang diamanatkan oleh UU Guru dan Dosen. Uji kompetensi memerlukan perangkat tes yang mampu menguji kompetensi guru secara menyeluruh. Oleh sebab itu, Uji kompetensi ini kedepan apakah akan menyisahkan kualitas atau rasa cemas pada guru.
            Uji kompetensi sekarang ini, walaupun belum sepenuhnya diterima oleh pihak PGRI Pusat lantaran kebijakan tersebut terkesan mempersulit guru untuk mendapatkan hak-haknya secara wajar. Selain itu, kebijakan uji kompetensi ini juga, belum memiliki landasan serta  juknis dan juklak yang jelas. Oleh karena itu, kebijakan tersebut masih banyak dipertanyakan banyak pihak. Terlepas dari polemik antara PGRI Pusat dan pemerintah diatas, kebijakan uji kompetensi ini memiliki sisi positif yang patut diapresiasi, yakni mewujudkan kualitas guru bangsa kedepannya yang lebih baik. Selain itu, uji kompetensi ini menjadi tantangan tersendiri bagi guru untuk terus memperbaiki kualitas dirinya sehingga menggapai profesionalisme itu sendiri.Kendatipun demikian, bukan berarti uji kompetensi ini selalu berjalan lancar seperti yang diharapkan. Faktanya, kebijakan uji kompetensi ini justru menjadi peluang bagi oknum tertentu untuk mengadakan “bintek uji kompetensi ilegal” dengan mengatasnamakan pemerintah. Ini berarti, pemerintah sendiri belum memiliki perangkat yang matang ketika mengadakan uji kompetensi itu sendiri. Selain munculnya, “bintek legal” di atas, dalam pelaksanaan uji komptensi pemerintah akan menghadapi persoalan yang berkaiatan dengan objektivitas dan kualitas dari hasil uji kompetensi tersebut. Oleh karena itu, pihak-pihak terkait seperti LPMP dan Dinas setempat harus kerja ekstra keras untuk “mensterilkan” dari budaya nepotisme dan sejenisnya sekaligus mewujudkan pelaksanaan uji kompetensi yang berkualitas dan bermartabat.       
Penulis adalah Staf Pengajar di IAIN dan Pemerhati Pendidikan sekaligus Pengasuh Alamtara

BUDAYA INSTAN DALAM PENDIDIKAN

Oleh ; Abdul Malik, M.Ag., M.Pd

“ McDonaldisasi tidak saja mempengaruhi bisnis restoran, akan tetapi juga pendidikan, kerja, perwatan kesehatan, travel, waktu senggang, makanan, politik, keluarga, bahkan setiap aspek kehidupan
(George Ritzer; The McDonaldiztion of Society)
Budaya instan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah tradisi baru yang dihasilkan oleh menggelobalnya dunia saat ini. Pada awalnya masyarakat Timur dalam hal ini Indonesia sangat meyakini bahwa kehidupanya masih dikeliling oleh nilai-nilai luhur (local wisdom) yang selalu memberikan makna, sekaligus meraih kehidupan yang lebih nature dan menentramkan. Akan tetapi tanpa disadari kehidupan terus bergeser secara perlahan tapi pasti sehingga tidak terasa “nilai-nilai” atau kapital sosial lokalpun mengalami pergeseran bahkan punah dilindas oleh budaya global (globalisasi) yang berwajah paradoks tersebut.
 Paradoks globalisasi tercipta sebagai akibat hadirnya secara bersamaan dan di dalam ruang-waktu yang sama- dua sifat yang saling bertentangan satu sama lain secara kontradiktif. Di satu sisi pola kehidupan sosial kultur sehari-sehari masyarakat akhir ini memperlihatkan berbagai pengaruh yang amat kuat dari apa yang disebut sebagai pola-pola kehidupan masyarakat global (global society) dan budaya global (global culture). Baik lewat berbagai teknologi (teknologi informasi, telekomunikasi, televisi, dan internet), maupun lewat berbagai produknya seperti barang, tontonan, dan hiburan. Budaya global tersebut terus menyebarkan dan memperkokoh pengaruhnya terhadap masyarakat, sehingga masuk pada setiap lini kehidupan, baik ruang publik (kampus, pasar, sekolah, masjid, kelas,kantor, dll) maupun ruang privat (dapur, kamar mandi, rumah pribadi, ruang belajar anak, ruang ibadah, dll). Sampai pada satu titik setiap orang menerima berbagai perubahan cara hidup, gaya hidup, dan bahkan pandangan hidup (world View).(Piliang;2004.207). Sementara di sisi lain  Perubahan maha dahsyat ini sekalipun halus, telah memudarkan eksistensi bentuk nilai-nilai, adat, kebiasaan, identitas, dan simbol-simbol luhur yang telah dimiliki selama ini. Tapi ironisnya sangat sedikit para pemangku pendidikan baik itu instansi terkait maupun para pendidik dan pengajar risau akan hal ini.
Adalah fakta hari ini, bagaimana di sekolah dan kampus yang nota benenya adalah wadah untuk mengembangkan nilai-nilai fundamental manusia menjadi sangat rapuh seakan tidak berperan apa-apa. Bagaimana tidak, nilai-nilai kejujuran, integritas, kepatuhan, ketaatan, rasa hormat, kedisiplinan, keikhlasan dan kesabaran menjadi barang langka dalam pribadi peserta didik saat ini. Oleh karena itu, tidak heran, kalau ditemukan peserta didik menikmati kebiasaan berbohong, peserta didik yang kehilangan rasa hormat pada guru, dosen, dan pada orang tua,  peserta didik yang mengalami split personality. Tidak  heran kemudian,  kenapa nilai –nilai yang diajarkan dalam kelas seperti kejujuran, integritas, kepatuhan, ketaatan, kedisiplinan, keikhlasan dan kesabaran tidak membawa dampak diluar kelas. Al hasil tidak heran kenapa peserta didik sulit untuk memiliki karakter yang positif dan kuat. Semuanya tergantikan oleh budaya pop-budaya global yakni budaya yang mengutamakan simbol dari pada subtansi, mengutamakan gaya hidup dari pada hakekat hidup, budaya yang lebih mengutamakan logika instan dari pada logika proses.  
Akhirnya dengan budaya global yang melahirkan masyarakat terbuka (open society) mememinjam istilah Karl Popper, memperlihatkan bagaimana aspek pendidikan sekarang ini sedang menghadapi tantangan dan masalah yang besar. Faktanya, bagaimana peserta didik diajarkan tentang segala nilai kebaikan di sekolah misalnya,  akan tetapi diluar kelas mereka terjebak pada prilaku  instan, tawuran, free sex dan obat-obat terlarang. Tidak hanya itu, bahwa semakin lunturnya nilai-nilai prinsipil dalam kehidupan peserta didik maka sudah semakin nyata dan terasa akan dampak untuk generasi kedepannya. Oleh sebab itu, fenomena permissivenes atau pengabaian nilai-nilai prinsipil dalam kehidupan manusia modern sudah semakin kuat eksistensinya. Sehingga kemudian yang diperlukan saat ini adalah membawa sekolah dan pendidikan ke arah penguatan nilai-nilai prinsipil, lebih khusus lagi nilai-nilai agama. Pada akhirnya lulusan atau output dari lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah tidak sekedar “tersekolahkan” tetapi juga terdidik.
Harus diakui bahwa proses pendidikan  yang berlangsung dewasa ini, baik di sekolah mapun di PT (perguruan tinggi) lebih menekankan kepada aspek pengajaran pengetahuan berbasis kognitif semata. Oleh karena itu yang terjadi dalam proses pendidikan dalam kelas adalah perpindahan pengetahuan dari guru ke murid bukan perpidahan sikap yang berbasisi pada perubahan prilaku peserta didik. Sehingga pada kenyataan sekarang ini pelaku koruptor dan kejahatan lainya adalah kebanyakan orang-orang yang berilmu dan cerdas pada ranah otaknya akan tetapi miskin pada ranah spiriual dan emosinya. Oleh sebab itu, sekolah kedepan tidak hanya menekankan pada aspek pengajaran semata akan tetapi juga pada aspek pendidikan yang merupakan basis pembelajaran perubahan perilaku.        
Pertautan antara budaya Instan dengan Pendidikan   
Begitu pula dengan membuminya budaya instan dikalangan masyarakat, justru mendorong dan mempengaruhi lingkungan pendidikan itu sendiri. Pada kenyataannya budaya instan tidak berhenti pada logika semata tetapi menjelama kedalam kehidupan nyata. Misalnya, bagaimana peserta didik mulai dari tingkat SD sampai PT lebih senang belajar pada saat ujian atau belajar pada saat mendesak, bagaimana peserta didik lebih senang nyontek dari pada cerdas belajar mandiri, dan bagaimana peserta didik lebih cerdas meng-copy paste dari pada cerdas berkarya. Kemudian bagaimana banyaknya para calon (oknum) pendidik (guru) yang memilih cari ilmu dengan cara “kuliah loncat pagar” dibandingkan dengan mengikuti proses yang lazim dilakukan. Artinya masuk kuliah semester I (satu) tiba-tiba enam bulan kemudian masuk semester V (lima), kemudian masuk kuliah semester VI (enam) tiba-tiba wisuda beberapa bulan kemudian. Selain itu, adanya layanan kuliah jarak jauh (selain UT), kampus dua, dan layanan kelas sabtu minggu merupakan peluang tersendiri bagi oknum-oknum tertentu untuk meraih pendidikan yang lebih mudah dan cepat  dengan menafikan kualitas yang seharusnya menjadi prasyarat. Kemudian berkaitan dengan jual beli ijazah, jual beli nilai, plagiat skripsi, dan jual beli gelar. Semuanya merupakan cerminan dari budaya Instan yang nyata yang terus melilit dunia pendidikan hari ini. Ironisnya semua kasus di atas, belum diselesaikan secara tuntas oleh pihak terkait dan justru terkesan malah terjadi “pembiaran”. Terlepas dari itu semua, yang pasti pendidikan di Indonesia pada umunya dan NTB khusunya telah terlalu dalam terjebak pada budaya instan yang terjadi selama ini. Walaupun budaya instan dalam pendidikan ini terlihat sebagai gunung es  di mana hanya permukaannya yang kelihatan. 
Belajar di institut pendidikan formal maupun nonformal pada hakekatnya adalah proses untuk medapatkan ilmu pengetahuan (teori), pendewasaan diri (pembinaan kepribadian), kematangan berkomunikasai dan memiliki integritas yang tinggi. Sebagai proses, ukuran keberhasilan bukan produk akhirnya saja, tetapi juga indikator prosesnya. Belajar yang hanya bertujuan untuk mendapatkan nilai, status sosial, ijasah, atau gelar sesungguhnya justru mereduksi makna belajar itu sendiri (Darmaningtyas.2005;214). Jika setiap calon pendidik dalam hal ini adalah guru memiliki kecenderung dan terjebak pada budaya simbol seperti diatas maka proses pendidikan dan pengajaran akan mengalami “kekosongan”. Bukti dari “kekosongan” itu adalah adanya siklus yang terpotong dari proses pembelajaran dan pendidikan selama ini sehingga lahirlah generasi pop, generasi yang tidak berkarakter, dan generasi instan sekarang ini. Budaya instan dalam pendidikan ini selain merugikan peserta didik itu sendiri juga merugikan masa depan bangsa dan merusak atmosfir serta kualiatas pendidikan yang ada.                 
Paparan diatas, merupakan salah satu jawaban terhadap gagalnya pola pendidikan yang berlaku hari ini. Artinya budaya global hari ini telah mengambil peran terhadap pembentukan karakter dan perkembangan peserta didik secara besar-besaran. Pembentukan karakter peserta didik oleh budaya global saat ini berlangsung secara cepat dan halus sehingga mengalahkan nasihat-nasihat para guru dan orang tua. Oleh sebab itu, langkah yang bijak adalah para pemangku pendidikan baik itu instansi terkait (pemerintah) maupun sekolah dan PT harus segera merubah paradigama mengajar dan mendidiknya secara sistemik dan holistik. Sehingga terjadi revitalisasi pendidikan yang melibatkan semua elemen dasar pendidikan seperti pemerintah,sekolah, masyarakat, dan keluarga. Tanpa keterlibatan elemen dasar di atas, pendidikan kedepan tidak akan berdampak, bermakna, dan tidak mampu mewujudkan pendidikan yang berdampak pada pengalaman bagi peserta didiknya. Sehingga dengan demikian merubah paradigma pendidikan adalah awal untuk merubah budaya pendidikan itu sendiri. Allahu  a’lam. 
Penulis adalah Staf Pengajar IAIN dan Pemerhati Pendidikan sekaligus pengasuh Alamtara

PERTAUTAN LOGIKA PENDIDIKAN DENGAN LOGIKA KAPITALIS

Oleh: Abdul Malik, M.Ag., M.Pd

Kita hidup saat ini adalah dalam budaya yang “bodoh secara spiritual”
(Danah Zohar dan Ian Marsshall dalam SQ:Spritual Intellegence-The Ultimate Intelegence, 2001, hlm. 267)

Pergeseran eksistensi dan makna pendidikan bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah dari faktor-faktor mainstrem dunia yang berlaku saat ini. Adalah kapitalisme yang menjadi mainstream dunia dan world view (pandang dunia) yang telah berhasil mempengaruhi dan menentukan segala pola eksistensi manusia sekaligus aspek-aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan. Selanjutnya kapatalisme telah diyakini sebagai akhir dari peradaban manusia dewasa ini. Hal ini digambarkan oleh tesis F.Fukumaya dalam bukunya ‘The and of history and the last man”. Dalam buku ini, Fukuyama menyimpulkan bahwa sejarah peradaban manusia akan berakhir pada idiologi kapitalisme. Oleh karena itu, nilai-nilai kapitalisme lah yang memenangkan sekaligus menentukan sejarah peradaban ummat manusia saat ini dan selanjutnya.
Anehnya, tesis Fukuyama ini telah dianut oleh sebagian besar dari penduduk dunia saat ini, tidak terkecuali Indonesia. Lebih aneh lagi banyak orang tidak percaya kalau kapitalisme dengan segala perangakatnya ini telah nyata dalam kehidupan manusiaa saat ini. Orang masih percaya bahwa kapitalisme hanyalah sembongkahan teori semata. Banyak orang tidak sadar kalau segala kekacauan dan anomali dalam kehidupan sosial merupakan hasil dari idialogi kapitalisme tersebut. Keadaan ini tercermin dari tingkah laku, pola pikir, dan cara pandang masyarakat dunia yang plural menuju unifikasi besar.
Banyak bukti dalam kehidupan keseharian manusia, yang tidak terlepas dari pengaruh arus kapitalisme global (Modrnitas; Antony Gidens). Sadar atau tidak, segala eksistensi diri manusia dewasa ini telah diatur oleh perangkat dan sistem kapitalisme global yang begitu halus sekaligus tidak manusiawi. Tidak ada satu faktor kehidupanpun yang bisa lepas secara total dari perangkat kapitalisme global abad ini. Baik itu pendidikan, budaya, sosial, agama, maupun kedirian manusia itu sendiri pudar bersama mesin-mesin kapitalis, iklan, dan simbol-simbol yang serba nisbi. Kemudian setiap orang sudah tidak bisa membedakan mana asli dan palsu, mana kenyataan dan imajinasi, simbol dan subtansi, mana keinginan dan kebutuhan. Semuanya menyatu dan bergerak dengan kecapatan tinggi. Kerancauan ini atau dengan kata lain turbulensi (meminjam istilah Jean Baudrillad) merupakan bentuk ekspansi sistem kapitalis ke dalam segala aspek kehidupan masyarakat modern.
Pertautan Nilai Kapitalis Dengan Nilai Pendidikan
Ekspansi sistem kapitalisme ke dalam dunia pendidikan telah menciptakan sebuah kondisi bertautanya logika pendidikan dan logika kapitalis. Pendidikan kemudian menjelma mejadi mesin kapitalis,yaitu mesin untuk mencari keuntungan (Baca: Swastanisasi Lembaga pendidikan). Pendidikan juga menjadi mesin pencitraan kapitalisme (image capitalisme), yakni mesin yang menciptakan citra-citra kapitalis.  Misalnya lembaga, individu, pengetahuan, dan lain-lain.
Dunia pendidikan yang sejatinya dibangun berlandaskan nilai-nilai objektivitas, keilmiahan (scientific), dan kebijaksanaan sebagai nilai dasar dalam pencarian pengetahuan. Kini dimuati oleh nilai-nilai komersial sebagai refleksi keberpihakan pada hegemoni kapitalis. Pendidikan sebagai wahana pencarian pengetahuan dan kebenaran sekarang bergeser menjadi wahana pencarian keuntungan (profit ) semata. Terjadinya pergeseran makna ini menciptakan sebuah relasi baru pengetahuan yang tidak saja berupa relasi kekuasaan dengan pengetahuan, akan tetapi juga pengetahuan dengan keuntungan (Power and Knowledge, Michel Foucault)
  Ketika pendidikan menjadi bagian integral dari sistem kapitalis, maka berbagai paradigma, metode, teknik, dan perangkat-perangkat yang dikembangkan di dalamnya menjadi jalan untuk mengukuhkan hegemoni budaya kapitalisme tersebut (Hegemoni, Gramsci dan Louis Althusser). Dalam dunia pendidikan baik itu kampus atau sekolah praktik kapitalisme ini tercermin  pada perilaku dan gaya hidup peserta didik serta dari penentu kebijakan, sistem, undang-undang, dan aturan kampus yang berlaku. Semua kebijakan ataupun aturan kampus mengatasnamakan keilmiahan, disiplin, kepatuhan, dan objektivitas. Kapitalisme menjadikan pendidiakan dan pengetahuan yang dihasilkan di dalamnya sebagai komoditi, dalam rangka mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Kapitalisme menciptakan sebuah kondisi merkantalisme pengetahuan, yaitu komodifikasi pengetahuan dalam konteks penimbunan kapital dan keuntungan. Jika merkantalisme pengetahuan menjadi fondasi dari institusi pendidikan, maka berbagai bentuk wacana, komersial dan komodifikasi dicangkokkan dalam sistem pendidikan. Disinilah matinya ruh pendidikan itu. Bila kecenderungan bartautnya citra dunia pendidikan dengan citra kapitalis terus berlanjut; bila pendidikan terus disokong  budaya tanda, citra, dan gaya hidup. Kemudian, bila pendidikan hanya memproduksi mentalitas pekerja serta ilmuwan kapitalis maka distorsi nila-nilai di dalam dunia pendidikan akan berkembang semakin besar.
Melawan hegemoni kapitalisme global adalah merubah pandangan dunia (world view). Artinya merubah paradigma kehidupan sosial itu sendiri. Dunia pendidikan sejatinya tidak lagi mengikuti model kapitalisme yang memuja keuntungan dan nilai-niali komersial, sebagai satu-satunya tujuan. Dunia pendidikan di masa depan tidak bisa lagi menutup mata terhadap indikator-indikator sosial, moral, dan spritual yang yang lebih luas dan bermakna ketimbang angka kwantitas dan keuntungan semata. Untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat yang baru di dalam dunia pendidikan – yang terlepas dari perangkap kapitalis – tampaknya diperlukan pembelajaran social (social learning) yang melibatkan masyarakat secara keseluruhan dan totalitas. Salah satu proses pembelajaran yang sangat penting adalah menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap perlunya “perubahan pandangan hidup” (Pendidikan berbasis penyadaran, Paul Farier)
Dunia pendidikan kedepan harus menjadi ruang, di dalamnya setiap orang mulai belajar akan makna, hakikat hidup, subtansi kehidupan serta kehidupan sederhana. Yakni dengan mengurangi peran simbol, konsumtif, dan citra dalam mendorong setiap orang untuk tidak berlebihan dalam setiap perilakunya. Tidak  bisa dinafikan misalnya, merajalelanya perilaku korupsi di negeri ini salah satu penyebabnya adalah tuntutan gaya hidup yang tinggi (gaya hidup materialisme-hidonoisme). Kemudian selanjutnya nilai-nilai gaya hidup materialisme-hidonisme ini merambat masuk kedalam pola-pola pendidikan yang berlaku saat ini. Ironisnya. Gaya hidup tersebut secara perlahan dan halus seiring perjalanan waktu menjadi “lingkungan baru” bagi dunia pendidikan serta bagi aspek kehidupan lainya.  Oleh karena itu, pendidikan hari ini telah terjadi disorientasi dari “nilai-nilai” kehidupan yang lebih hakiki menuju kehidupan semu. Pendidikan hari ini lebih berorientasi pada ranah otak sekaligus berorientasi  untuk memenuhi hasrat simbol dan citra semata. Sehingga tidak heran output yang dihasilkan adalah manusia-manusia yang pintar  tetapi kosong akan moral, kosong akan nilai-nilai kefitrahan. Allahu  a’lam.

Penulis adalah Dosen di IAIN Mataram serta Pengasuh Alamtara