Oleh;
Abdul Malik, M.Ag., M.Pd
Landasan
UN (Ujian Nasional)
UN (Ujian Nasional), berlandaskan pada Keputusan
Menteri Pendidikan Nasional No.
153/U/2003 tentang Ujian Nasional. Adapun tujuan UN menurut keputusan Mentri di
atas adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui
pemberian tes pada pada siswa SLTP dan SLTA. Selain itu, UN berutujuan untuk
megukur mutu pendidikan dan mempertanggung jawabkan penyelenggaraan pendidikan
di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah. Evaluasi
seharusnya dapat memberikan gambaran tentang pencapaian tujuaun pendidikan
sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang
No.20 tahun 2003. Menurut McNeil (177); setidaknya evaluasi seharusnya
mampu memberikan tiga informasi penting. Pertama
informasi penempatan yakni berkaitan dengan level belajar yang tepat bagi
siswa tanpa adanya beban bagai siswa yang bersangkutan. Kedua, mastery, hal ini berkaitan dengan apakah anak sudah memiliki
pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk masuk pada level selanjutnya. Ketiga, diagnosis yakni berkaitan dengan
identifikasi masalah dan hal-hal yang menjadi kendala bagi siswa.
Evaluasi (UN) Harus Selaras dengan Tujuan
Pendidikan Nasional
Evaluasi yang diterapkan sejatinya dapat menjawab
apa yang menjadi tujuan pendidikan Nasional. Seperti yang diamanatkan dalam
Undang-undang No.20 tahun 2003 (pasal 3) bahwa “Pendidikan Nasional bertujuan
untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman,
dan bertakwa, kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkahlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Tentu setiap kata kunci yang tercantum dalam pasal diatas,
sudah dipertimbangkan secara sadar dan matang oleh para pakar ketika membuat
udang-undang. Oleh sebab itu, apa yang dicantumkan sebagai tujuan pendidikan di
atas memiliki implikasi kepada alat untuk mengukur dan mengevaluasinya yang
tepat. Konsekwensinya kemudian adalah apa dan bagaimana model evaluasi yang
harus diterapkan untuk mampu mengukur tingkat pencapaian setiap komponen yang
dihajatkan oleh undang-undang tersebut.
Jika UN (Ujian Nasional)
merupakan alat evaluasi satu-satunya
untuk mengukur semua komponen yang ada dalam tujuan pendidikan nasional di
atas, maka banyak hal yang harus dipertanyakan kembali secara sadar dan kritis.
Pertanyaannya adalah apakah sistem evaluasi dalam bentuk UN dapat menjawab
semua komponen dari tujuan pendidikan nasional? Apakah UN dapat menjawab dan
memberikan informasi tentang kesalehan dan ketakwaan siswa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa? Apakah UN dapat menjawab bagaimana sikap demokrasi, kemandirian,
tingkat motivasi, minat dan tanggunggungjawab siswa? Bagaimana UN bisa menjawab
dan memberikan informasi tentang moral siswa?
Lebih jauh lagi
misalnya, apa standar iman dan takwa? Bagaiman cara mengukurnya? Apa alat
evaluasinya?, sejauh mana pengaruhnya dalam penentuan kelulusan siswa?. Kalau terhadap
pertanyaan di atas ini tidak bisa dijawab dengan baik dan tepat maka jangan
bertanya kenapa orang terpelajar dan terdidik bisa korupsi dan melanggar hukum,
kenapa pemenang olimpiade ilmu justru mudah bunuh diri, dan kenapa orang
tersekolahkan justru bermasalah dengan moralnya. Terkait dengan hal ini, hasil
penelitian yang dilakukan di Kota Mataram-NTB dengan 150 responden cukup
mengejutkan. Di mana angka ketidakperawanan untuk siswa SLTP 22%, siswa SLTA 46
%, sementara untuk mahasiswa (PT) 58%. Sehingga, rata-rata angka ketidak
perawanan menjadi 42 % atau berada di atas angaka rata-rata. (Baca: Lombok Post, Rabu 22 Februari 2012). Ini
semuanya dapat terjadi lantaran tidak simultan pembinaan antara pikir (IQ) dan
hatinya (SQ) dan tidak seimbang antara pencerdasan otaknya dengan pencerahan
hatinya. Kalau melihat pesoalan di atas secara kritis, maka UN yang dilakukan
selama ini sesungguhnya telah gagal sejak lama. Oleh sebab itu, kenapa kemudian
pendidikan dalam arti yang luas cenderung tidak berdampak, tidak memberikan
makna, dan tidak memberikan pengalaman bagai peserta didik, semuanya memiliki
hubungan dengan sistem evaluasi dan alat
ukur yang barlaku di dalamnya. Kendati semua kerancuan dan masalah di atas bukan
semata-semata disebabkan oleh UN (Ujian Nasional), akan tetapi aspek evaluasi
dalam hal ini UN mengambil peran penting dalam penentuan kualitas pendidikan
secara sistemik dan holistik. Itulah sebabnya, kenapa aspek evaluasi termasuk
salah satu dari delapan standar nasional pendidikan menjadi indikator kemajuan pendidikan
nasional itu sendiri.
UN (Ujian Nasional) Tidak Mengakomodir Potensi
Kemanusiaan.
Bukan lagi rahasia
umum bahwa UAN bagi sebahgian orang sesungguhnya menyimpan ketidakadilan di
dalamnya. Bagaimana tidak, standar kelulusan yang ditetapkan berlaku sama untuk
siswa dan sekolah di seluruh Indonesia. Padahal pemerintah sadar bahwa sekolah
yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini beramacam-maca bentuk dan
kemampunya. Ada yang dikenal dengan Sekolah bertaraf internasional, rintisan
sekolah bertaraf internasional, sekolah
unggul, sekolah integral, sekolah SPDT, sekolah Inpress, dan sekolah SATAP.
Beragam model sekolah di atas beragam pula segala perangkatnya. Mulai dari row input-nya sampai out come-nya. Baik dari
sarana-prasarana, proses, tenaga pedidik
kependidikan maupun bentuk evaluasinya. Oleh sebab itu, menjadi sebuah
ironi bila pemerintah “memaksakan” standar yang sama di atas keberagaman
tersebut.
Kalau ditinjau
secara kritis UN pun sesungguhnya bertentangan dengan paradigma pendidikan dan
pengajaran yang berkembang dewasa ini. Pendidikan dan pengajaran dewasa ini
adalah pendidikan dan pengajaran yang mengedepankan kesadaran dan pendekatan multiple intelligences (kecerdasan
majemuk/ganda) yang dimiliki oleh setiap siswa (potensi siswa) dan kondisi
sekolah. Selain itu, UN juga
bertentangan dengan prinsip pendidikan berpusat pada siswa. Artinya semua
perangkat dan proses pendidika tersebut sejatinya mampu mendukung dan
mengembangkan potensi yang dimiliki oleh siswa. Seorang anak yang berpotensi
untuk menjadi seorang pemain bola (olah ragawan) misalnya, tidak bisa
dipaksakan untuk menguasai seni kalau siswa tersebut tidak menyukainya. Seorang
anak yang berpotensi menjadi seniman jangan dipaksakan untuk menguasai
matematika. Mememperlakukan semua siswa dengan memberikan UN sama halnya
mengakui bahwa semua anak itu memiliki
potensi yang sama. Dan ini jelas bertentangan fitrah manusia itu sendiri . Oleh
sebab itu, perlakuan tersebut dalam konteks ini layak dipertanyakan dan digugat
oleh orang tua murid.
Walaupun sudah ada
kriteria kelulusan, seperti dijelaskan pada permendiknas No 45 Tahun 2010 pasal
6 dan ayat 2, UN yang berlaku hari ini masih banyak menyisahkan masalah-masalah
yang mendasar dalam dunia pendidikan. Oleh sebab itu, UN yang sebentar lagi
akan dilaksanakan selayaknya perlu ditinjau kembali agar sesuai dengan
perkembangan jaman, keragaman potensi siswa, dan kemampuan sekolah. Terkait
dengan hal ini, menurut Dr. Ngadirin; evaluais (UN) sepenuhnya diserahkan
kepada sekolah. Sistem penerimaan siswa pada jenjang berikutnya dilakukan
dengan cara diberikan tes masuk oleh sekolah masing-masing. Dengan cara
demikian, maka setiap sekolah akan menetapkan standar sendiri melalui tes masuk
yang dipakai. Sistem evaluasi yang diserahkan sepenuhnya ke sekolah bukan
berarti tidak diperlukan pedoman dan juklak/juknis. Pedoaman untuk melakukan
evaluasi tetap diperlukan untuk memberikan guidance
bagai guru agar evaluasi yang dilakukan tetap sesuai dengan kaidah-kaidah
evaluasi yang berlaku secara umum. Oleh karena itu, evaluasi harus mampu
menjawab semua informasi tentang tingkat pencapaian tujuan yang telah
ditentukan Allahu a’lam.
Penulis adalah Dosen
di IAIN Mataram serta Pengasuh Alamtara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar