Kamis, 15 Maret 2012

MEMPERTANYAKAN KEMBALI UJIAN NASIONAL (UN)

Oleh; Abdul Malik, M.Ag., M.Pd

Landasan UN (Ujian Nasional)
            UN (Ujian Nasional), berlandaskan pada Keputusan Menteri Pendidikan Nasional  No. 153/U/2003 tentang Ujian Nasional. Adapun tujuan UN menurut keputusan Mentri di atas adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui pemberian tes pada pada siswa SLTP dan SLTA. Selain itu, UN berutujuan untuk megukur mutu pendidikan dan mempertanggung jawabkan penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah. Evaluasi seharusnya dapat memberikan gambaran tentang pencapaian tujuaun pendidikan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang  No.20 tahun 2003. Menurut McNeil (177); setidaknya evaluasi seharusnya mampu memberikan tiga informasi penting. Pertama informasi penempatan yakni berkaitan dengan level belajar yang tepat bagi siswa tanpa adanya beban bagai siswa yang bersangkutan. Kedua, mastery, hal ini berkaitan dengan apakah anak sudah memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk masuk pada level selanjutnya. Ketiga, diagnosis yakni berkaitan dengan identifikasi masalah dan hal-hal yang menjadi kendala bagi siswa.
            Evaluasi (UN) Harus Selaras dengan Tujuan Pendidikan Nasional
            Evaluasi yang diterapkan sejatinya dapat menjawab apa yang menjadi tujuan pendidikan Nasional. Seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang No.20 tahun 2003 (pasal 3) bahwa “Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, dan bertakwa, kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tentu setiap kata kunci yang tercantum dalam pasal diatas, sudah dipertimbangkan secara sadar dan matang oleh para pakar ketika membuat udang-undang. Oleh sebab itu, apa yang dicantumkan sebagai tujuan pendidikan di atas memiliki implikasi kepada alat untuk mengukur dan mengevaluasinya yang tepat. Konsekwensinya kemudian adalah apa dan bagaimana model evaluasi yang harus diterapkan untuk mampu mengukur tingkat pencapaian setiap komponen yang dihajatkan oleh undang-undang tersebut.
Jika UN (Ujian Nasional) merupakan alat evaluasi  satu-satunya untuk mengukur semua komponen yang ada dalam tujuan pendidikan nasional di atas, maka banyak hal yang harus dipertanyakan kembali secara sadar dan kritis. Pertanyaannya adalah apakah sistem evaluasi dalam bentuk UN dapat menjawab semua komponen dari tujuan pendidikan nasional? Apakah UN dapat menjawab dan memberikan informasi tentang kesalehan dan ketakwaan siswa terhadap Tuhan Yang Maha Esa? Apakah UN dapat menjawab bagaimana sikap demokrasi, kemandirian, tingkat motivasi, minat dan tanggunggungjawab siswa? Bagaimana UN bisa menjawab dan memberikan informasi tentang moral siswa?
Lebih jauh lagi misalnya, apa standar iman dan takwa? Bagaiman cara mengukurnya? Apa alat evaluasinya?, sejauh mana pengaruhnya dalam penentuan kelulusan siswa?. Kalau terhadap pertanyaan di atas ini tidak bisa dijawab dengan baik dan tepat maka jangan bertanya kenapa orang terpelajar dan terdidik bisa korupsi dan melanggar hukum, kenapa pemenang olimpiade ilmu justru mudah bunuh diri, dan kenapa orang tersekolahkan justru bermasalah dengan moralnya. Terkait dengan hal ini, hasil penelitian yang dilakukan di Kota Mataram-NTB dengan 150 responden cukup mengejutkan. Di mana angka ketidakperawanan untuk siswa SLTP 22%, siswa SLTA 46 %, sementara untuk mahasiswa (PT) 58%. Sehingga, rata-rata angka ketidak perawanan menjadi 42 % atau berada di atas angaka rata-rata. (Baca:  Lombok Post, Rabu 22 Februari 2012). Ini semuanya dapat terjadi lantaran tidak simultan pembinaan antara pikir (IQ) dan hatinya (SQ) dan tidak seimbang antara pencerdasan otaknya dengan pencerahan hatinya. Kalau melihat pesoalan di atas secara kritis, maka UN yang dilakukan selama ini sesungguhnya telah gagal sejak lama. Oleh sebab itu, kenapa kemudian pendidikan dalam arti yang luas cenderung tidak berdampak, tidak memberikan makna, dan tidak memberikan pengalaman bagai peserta didik, semuanya memiliki hubungan dengan sistem evaluasi dan  alat ukur yang barlaku di dalamnya. Kendati semua kerancuan dan masalah di atas bukan semata-semata disebabkan oleh UN (Ujian Nasional), akan tetapi aspek evaluasi dalam hal ini UN mengambil peran penting dalam penentuan kualitas pendidikan secara sistemik dan holistik. Itulah sebabnya, kenapa aspek evaluasi termasuk salah satu dari delapan standar nasional pendidikan menjadi indikator kemajuan pendidikan nasional itu sendiri.       
 UN (Ujian Nasional) Tidak Mengakomodir Potensi Kemanusiaan.

Bukan lagi rahasia umum bahwa UAN bagi sebahgian orang sesungguhnya menyimpan ketidakadilan di dalamnya. Bagaimana tidak, standar kelulusan yang ditetapkan berlaku sama untuk siswa dan sekolah di seluruh Indonesia. Padahal pemerintah sadar bahwa sekolah yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini beramacam-maca bentuk dan kemampunya. Ada yang dikenal dengan Sekolah bertaraf internasional, rintisan sekolah  bertaraf internasional, sekolah unggul, sekolah integral, sekolah SPDT, sekolah Inpress, dan sekolah SATAP. Beragam model sekolah di atas beragam pula segala perangkatnya. Mulai dari row input-nya sampai out come-nya. Baik dari sarana-prasarana, proses, tenaga pedidik  kependidikan maupun bentuk evaluasinya. Oleh sebab itu, menjadi sebuah ironi bila pemerintah “memaksakan” standar yang sama di atas keberagaman tersebut.
Kalau ditinjau secara kritis UN pun sesungguhnya bertentangan dengan paradigma pendidikan dan pengajaran yang berkembang dewasa ini. Pendidikan dan pengajaran dewasa ini adalah pendidikan dan pengajaran yang mengedepankan kesadaran dan pendekatan multiple intelligences (kecerdasan majemuk/ganda) yang dimiliki oleh setiap siswa (potensi siswa) dan kondisi sekolah.  Selain itu, UN juga bertentangan dengan prinsip pendidikan berpusat pada siswa. Artinya semua perangkat dan proses pendidika tersebut sejatinya mampu mendukung dan mengembangkan potensi yang dimiliki oleh siswa. Seorang anak yang berpotensi untuk menjadi seorang pemain bola (olah ragawan) misalnya, tidak bisa dipaksakan untuk menguasai seni kalau siswa tersebut tidak menyukainya. Seorang anak yang berpotensi menjadi seniman jangan dipaksakan untuk menguasai matematika. Mememperlakukan semua siswa dengan memberikan UN sama halnya mengakui bahwa  semua anak itu memiliki potensi yang sama. Dan ini jelas bertentangan fitrah manusia itu sendiri . Oleh sebab itu, perlakuan tersebut dalam konteks ini layak dipertanyakan dan digugat oleh orang tua murid.
Walaupun sudah ada kriteria kelulusan, seperti dijelaskan pada permendiknas No 45 Tahun 2010 pasal 6 dan ayat 2, UN yang berlaku hari ini masih banyak menyisahkan masalah-masalah yang mendasar dalam dunia pendidikan. Oleh sebab itu, UN yang sebentar lagi akan dilaksanakan selayaknya perlu ditinjau kembali agar sesuai dengan perkembangan jaman, keragaman potensi siswa, dan kemampuan sekolah. Terkait dengan hal ini, menurut Dr. Ngadirin; evaluais (UN) sepenuhnya diserahkan kepada sekolah. Sistem penerimaan siswa pada jenjang berikutnya dilakukan dengan cara diberikan tes masuk oleh sekolah masing-masing. Dengan cara demikian, maka setiap sekolah akan menetapkan standar sendiri melalui tes masuk yang dipakai. Sistem evaluasi yang diserahkan sepenuhnya ke sekolah bukan berarti tidak diperlukan pedoman dan juklak/juknis. Pedoaman untuk melakukan evaluasi tetap diperlukan untuk memberikan guidance bagai guru agar evaluasi yang dilakukan tetap sesuai dengan kaidah-kaidah evaluasi yang berlaku secara umum. Oleh karena itu, evaluasi harus mampu menjawab semua informasi tentang tingkat pencapaian tujuan yang telah ditentukan  Allahu  a’lam.                 

Penulis adalah Dosen di IAIN Mataram serta Pengasuh Alamtara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar