Rabu, 07 Maret 2012

DEKONSTRUKSI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

Oleh; Abdul Malik, M.Ag., M.Pd

Buatlah murid menikmati belajarnya dengan cara guru menikmati mengajaranya
Benarkah guru sudah menikmati mengajarnya selama ini?
 Kalau dijawab dengan jujur pertanyaan di atas maka akan ditemukan betapa banyak guru yang keluar dari kelasnya mengelus dada, kecewa, rasa tidak puas, rasa marah, rasa pasrah dan masalah-masalah lainnya. Bahkan tidak jarang puncaknya guru memukul siswanya. Kondisi tersebut sesungguhnya menunjukan kepada kita bahwa betapa guru jarang dan sulit mencapai puncak kenikmatan dalam megajarnya. Justru para siswa dan ruang kelas dirasakan seakan-akan menjadi sumber masalah bagi guru yang bersangkutan.

Jika semua ini terjadi maka tidak ada harapan lagi untuk menciptakan kenikmatan mengajar dan pembelajaran menyenangkan bagi siswa. Bagaimana sejatinya membangun proses belaja mengajar yang dapat dinikmati oleh guru sekaligus siswa? Untuk menjawab pertayaan ini dapat dieksplorasi dari beberapa teori belajar diantaranya adalah teori belajar Quantum teaching dan konstruktivisme.

Apa itu Quantum Teaching? Quantum Teaching adalah “interaksi-interaksi yang mengubah
energi menjadi cahaya”. Rumusan yang terkenal dalam fisika quantum adalah massa kali kecepatan cahaya kuadrat sama dengan energi atau dikenal dengan rumus E=mc²(Quantum Leraning;Boobi De Porte dan Mike Hernacki.1999). Tubuh manusia dan segala isi alam raya ini bahan dasarnya adalah energi dan oleh karena itu dapat diubah menjadi energi kemudian menjadi cahaya (Agus Mustofa.2008:). Quantum teching sendiri sebenarnya adalah ilmu pengetahuan dan metodologi yang dikonstruk berdasarkan teori-teori pendidikan yang basiskan fitrah manusia dan teknologi pembelajaran modern. Seperti; Accelerated Learning (Lozanov), Multi Intellegense (Gadner), Neuro-Linguistic Programming (NLP) (Grinder dan Bandler), Experiential Learning (Hanh), Socratic Inquiry, Cooperative Learning (Jhonson), dan Elements of Effective Instruction (Hunter). Teori–teori
tersebut diatas lazim dikenal sebagai teori pendekatan dalam pembelajaran dewasa ini.
Interelasi dari segala teori di atas dengan hukum quantum maka menciptakan paket pembelajaran quantum taeching. Quantum teaching merangkaian yang paling baik dari yang terbaik menjadi sebuah paket multisensori, dan kompatibel dengan otak, yang pada akhirnya akan melejitkan kemampuan guru untuk mengilhami dan kemampuan murid untuk berprestasi. Sebagai sebuah pendekatan belajar yang segar, mengalir, dan praktis maka quantum teaching menawarkan suatu sintesis dari hal-hal yang menjadi kegelisah guru selama ini. Misalnya; untuk memaksimalkan dampak usaha pengajaran melalui perkembangan hubungan, penggubahan belajar, dan penyampaian kurikulum.

Belajar itulah yang penting, Ternyata Mengajar tidak penting

Teori belajar konstruktivisme, teori ini pada hakikatnya mewujudkan “kemandirian belajar siswa”. Artinya, kalau siswa sudah bisa belajar mandiri, menyadari minat, motivasi diri, modalitas belajarnya kuat, rasa ingin tahunya tinggi, maka dalam konteks ini guru dalam arti
tradisonal menjadi “tidak penting” untuk mengajar. Oleh karena itu, guru dalam pandangan teori ini hanya berperan sebagai fasilitator, motifator, patner belajar, dan evaluator. Selebihnya guru tinggal merayakan belajar bersama siswa-siswanya. Mengapa mengajar “menjadi tidak penting”? karena selama ini, ketika guru melaksanakan proses belajar mengajar, guru sering terjebak dengan “kepentingannya” sebagai pengajar. Dari kepentingan tersebut, maka secara alami guru tersebut cenderung dirinya berperan sebagai “pemeran” utama sekaligus fokus satu-satunya dalam pembelajaran. Sebagai contoh; sejak guru membuat perencanaan belajar sampai evaluasi belajar guru jarang “melibatkan kepentingan” siswa di dalamnya. Oleh sebab itu, pola pembelajaran seperti ini biasanya sulit menghasilkan pebelajaran menyenangkan, ceria, dan mandiri.

Akhirnya orientasi mengajar itu lebih berorientasi pada guru buka pada siswa atau yang dikenal dengan sistem pembalajaran teacher centred (pembelajaran yang berpusat pada guru). Jarang guru merancang belajar untuk kepentingan siswa, semuanya untuk kepentingan guru itu sendiri. Guru hampir tidak pernah menetapkan dan merancang strategi mengajar dengan melibatkan potensi siswa. Semunya sepihak dalam merancang belajar, siswa tinggal menunggu perintah guru dan berperan mengikuti skenario yang dibuat oleh guru. Bahkan tidak sedikit siswa dipaksa untuk “menjadi” seperti apa yang inginkan oleh gurunya bukan menjadi sebagaiman dirinya sendiri (Baca: Potensi Multiple Intelligence). Padahal kalau siswa sudah mau belajar mandiri maka selesai sudah tugas guru itu sendiri. Tapi selama ini, pola pembelajaran yang dilakukan oleh guru cenderung menciptakan ketergantungan siswa yang sangat tinggi. Sehingga dampaknya dalam hal ini adalah, siswa menjadi pasif, minat, tanggung jawabnya dan motivasi belajarnya rendah. Artinya tidak ada guru dalam kelas maka tidak ada belajar. Sementara di sisi lain, banyak oknum guru yang mengajar sekedar hanya untuk menggugurkan kewajibannya semata, banyak yang mengajar hanya untuk memenuhi tuntutan kurikulum, dan banyak oknum guru yang rajin mengajar tetapi rendah akan rasa ingin tahu terhadap perkembangan siswa dan hasil belajarnya. Selama ini banyak sekolah yang salah kaprah bahwa yang urus dan memberikan perhatian besar kepada siswa yang nakal, malas, dan bermasalah itu adalah tanggung jawab guru BK, guru pendamping, wali studi, dan guru kelas. Padahal, segala kompenen sekolah yang ada harus terlibat, memiliki kepedulian, dan tanggung jawab yang sama terhadap masalah dan perkembangan siwa, termasuk orang tua.

Ternyata Belajar itu Masalah....!

Mencermati beberapa kasus pemukuluan siswa yang dilakukan oleh oknum guru di sekolah, sesungguhnya memberikan makna bahwa ternyata proses belajar mengajar tidak selalau berjalan nyaman, ceria, menggairahkan, interaktif , dan dinamis. Sampai hari ini kasus-kasus pemukulan ataupun kekerasan terhadap peserta didik, baik kekerasan fisik maupun psikis masih dianggap lumrah oleh sebahgian guru. Alasannya cukup sederhana karena siswa-siswa tersebut selain suka membuat onar (nakal) juga “tidak patuh” terhadap guru. Sehingga pada akhirnya, pandangan guru terhadap kasus pemukulan siswa yang dilakukan oleh oknum guru dengan mengatasnamakan perhatian lebih, kasih sayang, dan mendidik masih bersifat pro dan kotra. Artinya guru masih berbeda pendapat tentang “perlukah guru memukul siswanya dengan alasan-alasan “mendidik” dan “perhatian” atau guru tidak boleh sama sekali memukul siswanya dengan alasan apapun”? Terlepas dari perbedaan pandang terhadap kekerasan dalam pedidikan, ditinjau dari paradigma pendidikan dewasa ini maka tidak ada alasan apapun dan bagi siapapun termasuk guru untuk melakukan kekerasan dalam pendidikan. Beragam faktor yang medorong munculnya masalah belajar dalam kelas, diantaranya; pemahaman guru terhadap hakekat belajar, prinsip belajar, dan hakekat mengajar. Sampai saat ini walaupun paradigma pendidikan sudah sangat berubah, pemahaman dan artikulasi guru terhadap makna dan hakekat belajar belum banyak yang berubah.

Gaya belajar yang cenderung otoriter-tradisionalis mengarah pada pemaksaan kehendak
guru terhadap siswa untuk berprilaku seragam yakni; duduk, diam, dan dengar. Dalam konteks ini “hukuman” selalu menjadi solusi utama bahkan telah menjadi budaya dalam sekolah teretentu. Hukuman menjelama menjadi satu-satunya alat pemecahan setiap masalah yang muncul di kelas. Pada akhirnya pendekatan pembelajaran seperti ini menjadikan belajar menjadi suatu beban bagi murid. Dengan demikian tidak ada lagi siswa yang terlambat, tidak ada lagi siswa yang keluar masuk kelas, tidak ada lagi siswa yang tidak paham apa yang diajarkan, dan tidak ada lagi siswa yang ngomong sediri ketika guru mangajar dalam kelas. Intinya, proses belajar berjalan sesuai dengan kehendak guru, tanpa melihat sisi lain yang ada dalam diri siswa.

Gambaran di atas merupakan paradigma lama (cara pandang) terhadap pendidikan, dimana guru memandang bahwa setiap masalah yang muncul dalam kelas adalah sesuatu yang terpisah dari belajar itu sendiri. Sehingga ketika ada anak yang terlambat masuk kelas, tidak menyelesaikan tugas, dan seterusnya maka dalam persepsi guru tersebut merupakan masalah besar. Ini berarti, bahwa guru tersebut benar-benar memisahkan antara belajar dengan masalah. Bahkan belajar itu sendiri merupakan anti tesis dari masalah. Pemahaman yang keliru dari guru selama ini adalah bahwa belajar itu tidak harus ada masalah. Artinya pemahaman ini dengan sendirinya menempatkan sekolah sebagai tempat bagi anak-anak yang pandai, patuh, rajin, jujur, pendiam, pendengar setia dan disiplin.

Semuanya persis seperti yang dinginkan dan diharapakan oleh gurunya. Sekolah bukanlah tempat untuk siswa yang tidak kreatif, salah, nakal, siswa yang terlambat datang, tidak disiplin, siswa yang tidak bisa, tidak jujur dan siswa yang tidak mengerjakan PR. Intinya dilarang sekolah bagi anak-anak yang “melakukan kesalahan dan tidak pandai”. Tidak heran kemudian, pembelajaran dengan pendekatan tradisional atau pemahaman yang menempatkan belajar itu terpisah dengan masalah (kesalahan) pada akhirnya menyisahkan banyak masalah di sekolah. Diantaranya; kekerasan fisik pada peserta didik (pemukulan), kekerasan psikis (membentak, pembunuhan karakter), dan teror mental. Dampak dari itu semua adalah munculah kasus anak yang lari dari sekolah, takut masuk sekolah, dan bahkan tidak sedikit yang anak pindah sekolah. Kemudian pada saat yang sama sekolahpun berubah menjadi tempat yang menakutkan bagai sebagian anak yang “memiliki kesalahan”, anak yang tidak mampu, dan sejenisnya.

Terkait dengan hal di atas, maka merubah cara pandang (paradigma) guru terhadap hakikat
belajar menjadi penting dalam hal ini. Guru harus menyadari dan meyakini bahwa sesungguhnyabelajar itu hakikatnya adalah kesalahan dan masalah. Jadi menempatkan masalah sebagai bagian dari pada belajar yang sejati atau satu kesatuan yang utuh (terintegrasi) maka akan melahirkan atmosfir belajar menyenangkan. Yakni kondisi belajar, di mana peserta didik dan guru dapat melakukan interaksi belajar dengan penuh kesenangan, intraktif, dan inspiratif. Hal ini sesuai dengan standar proses pendidikan PP No. 19 Tahun 2005, pasal 19, ayat 1 bahwa; Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipatif aktif, serta meberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas, sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. (PP No. Tahun 2005, pasal 19, ayat 1). Dari standar proses di atas maka terbentuklah pendekatan pembelajaran yang dikenal dengan istilah PAKEM kemudian berubah menjadi PAIKEM, selanjutnya berubah menjadi PAIKEMI dan pada akhirhnya berubah menjadi I2M3 (Pembelajaran interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan motivasi). Apapun bentuk istilah yang digunakan dalam pendekatan pembelajaran tidak menjadi masalah. Paling tidak spirit dan nilai yang tertuang pada PP No.19 tentang standar proses di atas memberikan gambaran bahwa dalam proses pembelajaran diperlukan kenyamanan dan ruang kebebasan bagi pengembangan potensi peserta didik. Untuk mencapai kondisi ini langkah awalnya adalah guru harus menyadari, memahami, dan menjiwai bahwa masalah itu adalah bagian integral dari belajar itu sendiri. Apapun itu bentuk kesalahan dan masalah yang muncul dalam proses belajar mengajar itulah belajar sesungguhunya. Justru karena belajar itu adalah masalah maka guru harus mampu belajar menghadirkan, mendesain, dan menciptkan proses belajar-mengajar yang mampu mengakomodasi dan mendampingi masalah-masalah yang muncul.
Kadang para pendidik lupa ketika proses belajar mengajar dimulai di dalam kelas sebenarnya guru telah memasuki “zona masalah”. Bagi guru yang belum memahami hakikat belajar-mengajar maka ruang kelas adalah zona ketidaknyamanan bagai dirinya sendiri. Sementara bagi guru yang sadar akan hakikat belajar selalu menganggap bahwa masalah adalah vitamin bagi orang-orang yang luar biasa. Bukan dianggap sebagai “beban” yang pada akhirnya mengharuskan seorang guru menyerah ketika berkali-kali mengadapi muridnya bermasalah. Perlu ditegaskan ulang bahwa adanya guru dalam kelas (belajar) bukan untuk menghilangkan masalah-masalah yang muncul akan tetapi adanyan guru untuk mendampingi masalah-masalah yang terjadi dalam kelas sehingga tercapai pembelajaran yang bermakna. Semoga.

Penulis adalah Dosen di IAIN Mataram Serta Pengasuh Alamtara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar