Kamis, 15 Maret 2012

POLEMIK “PERJALANAN” SERTIFIKASI GURU DI NEGERI PARA GURU

Oleh Abdul Malik. M.Ag., M.Pd
            Issu-issu pendidikan apapun bentuknya, selalu menjadi perbincangan yang hangat dan menarik di ruang publik.  Kenapa? Karena  memperbicangkan pendidikan adalah memperbincangkan masalah manusia dan kehidupan itu sendiri. Akhir-akhir ini, guru dikagetkan dengan adanya kebijakan pemerintah tentang uji kompetensi bagi guru yang ikut sertifikasi. Kebijakan tersebut sesungguhnya masih satu paket dengan kebijakan tentang sertifikasi guru melalui sistem penilaian protofolio dan PLPG yang pernah dilakukan selama ini. Kalau dikaji secara kritis kebijakan sertifikasi guru masih banyak yang harus diperbaharui dan diperbaiki. Baik berkaitan dengan konsep, proses, maupun sistem evaluasinya. Sebagai contoh pelaksanaan sertifikasi guru melalui jalur protofolio selama ini justru memunculkan problem baru. Diantaranya adalah  terbukanya peluang manipulasi data bagi oknum-oknum guru, kemudian terbukanya peluang bagi oknum asesor untuk melakukan penilaian protofolio secara tidak profesional. Karena bagaimanapun sistem penggajian asessor disesuaikan dengan jumlah protofolio yang diperiksa, artinya semakin banyak lembaran protofolio yang diperiksa maka semakin tinggi pembayarannya. Sehingga dalam penilaiannya ada beberapa oknum asesor yang melakukan penilaian dengan mentargetkan banyaknya protofolio yang diperiksa bukan mentargetkan kualitas dan kevalidan dari pada hasil pemeriksaan. Kemudian  kebijakan sertifikasi berbasis protofolio tersebut dimanfaatkan oleh beberapa LSM dan lembaga tertentu untuk meraih keuntungan dengan imbalan menerbitkan sertifikat guna memenuhi hasrat guru yang mengumpulkan “poin”. Hal ini dilakukan dengan mengadakan seminar nasional, internasional, workshop, dan sebagainya. Ironisnya kemudian, tidak sedikit lembaga-lembaga tersebut “memperdagangkan” sertifikat kepada guru. Tentu hal ini disambut baik oleh oknum guru “bak gayung bersambut”.  Apa yang dilakukan oleh LSM dan lembaga diatas pada dasarnya, tidak dapat disalahkan sepenuhnya karena memang regulasi dari pemerintah tentang lembaga yang berhak untuk mengadakan dan mengeluarkan sertifikat pelatihan, seminar, loka karya dan  workshop sangatlah tidak jelas.Terlepas dari itu semua, bahwa hasil pelaksanaan sertifikasi dengan jalur penilaian protofolio selama ini adalah tidak signifikan. Hal tersebut merupakan cerminan dari kelemahan perangkat sertifikasi yang berbasis penilaian protofolio yang telah dilaksanakan. Serta cerminan dari tidak adanya kesadaran kolektiv yang dimiliki masyarakat untuk sama-sama membangun kualitas pendidikan itu sendiri.
            PLPG Ternyata Tidak Meningkatkan Kualitas Guru                            
            PLPG adalah jalur lain dalam sertifikasi guru. Tidak jauh berbeda dengan protofolio, kebijakan PLPG pun masih memiliki banyak kekurangan dalam mengembangkan kompetensi dan profesionalisme guru. Diantara  kelemahan tersebut adalah pertama, terkait dengan kompetensi dan kapabelitas oknum LPTK sebagai penyelenggara pelatihan guru baik yang dibawah naungan Diknas maupun Depag. Terkait dengan hal ini, banyak keluhan guru berkaitan dengan kualitas SDM LPTK yang memberikan pelatihan. Kedua berkaitan dengan materi pelatihan yang disiapkan oleh panitia, kebanyakan materi sudah out of date. Hal ini terjadi lantaran kurikulum dan perangkat pembelajaran yang diajarakan di sekolah sudah jauh berkembang ketimbang apa yang diajarkan di Perguruan Tinggi (PT). Oleh sebab itu, sejatinya PT harus lebih cepat melakukan penyelarasan kurikulum sehingga kemudian, apa yang akan diberikan kepada guru dalam pelatihan tersebut benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan guru. Ketiga terkait dengan kualitas sistem pelaksanaan sertifikasi guru secara menyeluruh. Terlepas adanya tujuan baik dibalik sertifikasi, pelaksanaan program sertifikasi sekarang ini masih terkesan “penyelesaian proyek”. Kesan seperti itu secara langsung sebenarnya mereduksi nilai-nilai dari pelaksanaan sertifikasi itu sendiri. Artinya pelaksanaan sertifikasi harus benar-benar dilaksanakan secara profesional dan all out. Sehingga dengan demikian tujuan utama untuk meningkatkan kompetensi guru itu dapat diwujudkan. Sampai saat ini, belum ada bukti otentik adanya signifikansi dan korelasi positif antara guru yang telah disertifikasi (PLPG) dengan meningkatnya kualitas profesionalisme guru. Justru sertifikasi ini masih banyak menyisahkan masalah yang berkaitan dengan konsep dan kualitas. Oleh sebab itu, pemerintah sampai saat ini terus memperbaikinya hingga munculah uji kompetensi yang berpolemik itu.Terlepas dari kualitas seluruh rangkaian proses sertifikasi, sejak awal munculnya kebijakan sertifikasi itu ada, dilandasi oleh kepentingan yang beragam; baik itu politik partai tertentu, kesejahteraan guru, maupun peningkatan profesionalisme guru. Fokus dalam tulisan ini adalah peningkatan profesionalisme guru. Diakui atau tidak, sesugguhnya kualitas guru akan sulit terwujud bila diharapkan hanya dari PLPG semata, selama dukungan masyarakat luas tidak ada dan perangkat penjaminan mutu tersebut tidak di sempurnakan.
Sejarah telah membuktikan bahwa terwujudnya mutu, sikap profesionalisme, dan budaya mutu pada suatu lembaga terlahir dari rentetan proses panjang yang terukur. Sikap profesional misalnya, adalah lahir dari akumulasi niat dan kesadaran personal yang pada gilirannya membentuk niat, kesadaran, dan tujuan kolektive. Oleh sebab itu, instrumen peningkatan mutu yang  membias dengan kepentingan yang lain dan sesaat cenderung gagal dalam membangun sikap profesionalisme. Negara dan bangsa yang maju dan beradab dewasa ini adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai budaya profesionalisme, disiplin, dan suportivitas yang tinggi. Semua ini akan dicapai, apabila suatu bangsa tersebut memiliki kesadaran kolektiv yang tinggi, political will, visi dan misi yang jelas, dan budaya penegakan hukum yang konsisten.
Ujia Kompetensi; Tantangan Baru dan Masalah Baru
            UU Guru dan Dosen mewajibkan setiap guru untuk diuji kompetensinya. Dengan demikian, uji kompetensi bersifat mengikat bagi semua guru, baik guru yunior maupun guru senior, bahkan guru yang tinggal beberapa tahun lagi pensiun. Dengan jalan uji kompetensi, kegiatan belajar mengajar dapat dipertanggungjawabkan secara akademik terhadap generasi muda. Uji kompetensi bukan merupakan sesuatu yang perlu ditakuti oleh guru. Uji kompetensi justru dapat memberikan tiga hal yang bermanfaat bagi guru. Pertama, guru dapat merefleksikan potensi dan kompetensi yang dimilikinya. Kedua, dengan mengetahui kompetensi dirinya, guru dapat mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan kebutuhan pembelajaran. Ketiga, diharapkan dengan hasil kompetensi yang baik, guru akan mudah mendapatkan sertifikasi pendidikan yang akhirnya akan bermuara pada peningkatan kesejahteraan guru sesuai dengan yang diamanatkan oleh UU Guru dan Dosen. Uji kompetensi memerlukan perangkat tes yang mampu menguji kompetensi guru secara menyeluruh. Oleh sebab itu, Uji kompetensi ini kedepan apakah akan menyisahkan kualitas atau rasa cemas pada guru.
            Uji kompetensi sekarang ini, walaupun belum sepenuhnya diterima oleh pihak PGRI Pusat lantaran kebijakan tersebut terkesan mempersulit guru untuk mendapatkan hak-haknya secara wajar. Selain itu, kebijakan uji kompetensi ini juga, belum memiliki landasan serta  juknis dan juklak yang jelas. Oleh karena itu, kebijakan tersebut masih banyak dipertanyakan banyak pihak. Terlepas dari polemik antara PGRI Pusat dan pemerintah diatas, kebijakan uji kompetensi ini memiliki sisi positif yang patut diapresiasi, yakni mewujudkan kualitas guru bangsa kedepannya yang lebih baik. Selain itu, uji kompetensi ini menjadi tantangan tersendiri bagi guru untuk terus memperbaiki kualitas dirinya sehingga menggapai profesionalisme itu sendiri.Kendatipun demikian, bukan berarti uji kompetensi ini selalu berjalan lancar seperti yang diharapkan. Faktanya, kebijakan uji kompetensi ini justru menjadi peluang bagi oknum tertentu untuk mengadakan “bintek uji kompetensi ilegal” dengan mengatasnamakan pemerintah. Ini berarti, pemerintah sendiri belum memiliki perangkat yang matang ketika mengadakan uji kompetensi itu sendiri. Selain munculnya, “bintek legal” di atas, dalam pelaksanaan uji komptensi pemerintah akan menghadapi persoalan yang berkaiatan dengan objektivitas dan kualitas dari hasil uji kompetensi tersebut. Oleh karena itu, pihak-pihak terkait seperti LPMP dan Dinas setempat harus kerja ekstra keras untuk “mensterilkan” dari budaya nepotisme dan sejenisnya sekaligus mewujudkan pelaksanaan uji kompetensi yang berkualitas dan bermartabat.       
Penulis adalah Staf Pengajar di IAIN dan Pemerhati Pendidikan sekaligus Pengasuh Alamtara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar