Oleh
Abdul Malik. M.Ag., M.Pd
Issu-issu pendidikan apapun bentuknya, selalu
menjadi perbincangan yang hangat dan menarik di ruang publik. Kenapa? Karena memperbicangkan pendidikan adalah memperbincangkan
masalah manusia dan kehidupan itu sendiri. Akhir-akhir ini, guru dikagetkan
dengan adanya kebijakan pemerintah tentang uji kompetensi bagi guru yang ikut
sertifikasi. Kebijakan tersebut sesungguhnya masih satu paket dengan kebijakan
tentang sertifikasi guru melalui sistem penilaian protofolio dan PLPG yang pernah
dilakukan selama ini. Kalau dikaji secara kritis kebijakan sertifikasi guru masih
banyak yang harus diperbaharui dan diperbaiki. Baik berkaitan dengan konsep,
proses, maupun sistem evaluasinya. Sebagai contoh pelaksanaan sertifikasi guru melalui
jalur protofolio selama ini justru memunculkan problem baru. Diantaranya adalah
terbukanya peluang manipulasi data bagi
oknum-oknum guru, kemudian terbukanya peluang bagi oknum asesor untuk melakukan
penilaian protofolio secara tidak profesional. Karena bagaimanapun sistem
penggajian asessor disesuaikan dengan jumlah protofolio yang diperiksa, artinya
semakin banyak lembaran protofolio yang diperiksa maka semakin tinggi
pembayarannya. Sehingga dalam penilaiannya ada beberapa oknum asesor yang
melakukan penilaian dengan mentargetkan banyaknya protofolio yang diperiksa
bukan mentargetkan kualitas dan kevalidan dari pada hasil pemeriksaan. Kemudian
kebijakan sertifikasi berbasis
protofolio tersebut dimanfaatkan oleh beberapa LSM dan lembaga tertentu untuk meraih
keuntungan dengan imbalan menerbitkan sertifikat guna memenuhi hasrat guru yang
mengumpulkan “poin”. Hal ini dilakukan dengan mengadakan seminar nasional,
internasional, workshop, dan sebagainya. Ironisnya kemudian, tidak sedikit
lembaga-lembaga tersebut “memperdagangkan” sertifikat kepada guru. Tentu hal
ini disambut baik oleh oknum guru “bak gayung bersambut”. Apa yang dilakukan oleh LSM dan lembaga diatas
pada dasarnya, tidak dapat disalahkan sepenuhnya karena memang regulasi dari
pemerintah tentang lembaga yang berhak untuk mengadakan dan mengeluarkan sertifikat
pelatihan, seminar, loka karya dan workshop
sangatlah tidak jelas.Terlepas dari itu semua, bahwa hasil pelaksanaan
sertifikasi dengan jalur penilaian protofolio selama ini adalah tidak
signifikan. Hal tersebut merupakan cerminan dari kelemahan perangkat sertifikasi
yang berbasis penilaian protofolio yang telah dilaksanakan. Serta cerminan dari
tidak adanya kesadaran kolektiv yang dimiliki masyarakat untuk sama-sama
membangun kualitas pendidikan itu sendiri.
PLPG Ternyata Tidak Meningkatkan Kualitas
Guru
PLPG adalah jalur lain dalam
sertifikasi guru. Tidak jauh berbeda dengan protofolio, kebijakan PLPG pun
masih memiliki banyak kekurangan dalam mengembangkan kompetensi dan
profesionalisme guru. Diantara kelemahan
tersebut adalah pertama, terkait
dengan kompetensi dan kapabelitas oknum LPTK sebagai penyelenggara pelatihan
guru baik yang dibawah naungan Diknas maupun Depag. Terkait dengan hal ini,
banyak keluhan guru berkaitan dengan kualitas SDM LPTK yang memberikan
pelatihan. Kedua berkaitan dengan materi
pelatihan yang disiapkan oleh panitia, kebanyakan materi sudah out of date. Hal ini terjadi lantaran
kurikulum dan perangkat pembelajaran yang diajarakan di sekolah sudah jauh berkembang
ketimbang apa yang diajarkan di Perguruan Tinggi (PT). Oleh sebab itu,
sejatinya PT harus lebih cepat melakukan penyelarasan kurikulum sehingga
kemudian, apa yang akan diberikan kepada guru dalam pelatihan tersebut
benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan guru. Ketiga terkait dengan kualitas sistem pelaksanaan sertifikasi guru secara
menyeluruh. Terlepas adanya tujuan baik dibalik sertifikasi, pelaksanaan
program sertifikasi sekarang ini masih terkesan “penyelesaian proyek”. Kesan seperti
itu secara langsung sebenarnya mereduksi nilai-nilai dari pelaksanaan
sertifikasi itu sendiri. Artinya pelaksanaan sertifikasi harus benar-benar dilaksanakan
secara profesional dan all out. Sehingga
dengan demikian tujuan utama untuk meningkatkan kompetensi guru itu dapat
diwujudkan. Sampai saat ini, belum ada bukti otentik adanya signifikansi dan
korelasi positif antara guru yang telah disertifikasi (PLPG) dengan
meningkatnya kualitas profesionalisme guru. Justru sertifikasi ini masih banyak
menyisahkan masalah yang berkaitan dengan konsep dan kualitas. Oleh sebab itu,
pemerintah sampai saat ini terus memperbaikinya hingga munculah uji kompetensi yang
berpolemik itu.Terlepas dari kualitas seluruh rangkaian proses sertifikasi, sejak
awal munculnya kebijakan sertifikasi itu ada, dilandasi oleh kepentingan yang
beragam; baik itu politik partai tertentu, kesejahteraan guru, maupun peningkatan
profesionalisme guru. Fokus dalam tulisan ini adalah peningkatan
profesionalisme guru. Diakui atau tidak, sesugguhnya kualitas guru akan sulit
terwujud bila diharapkan hanya dari PLPG semata, selama dukungan masyarakat
luas tidak ada dan perangkat penjaminan mutu tersebut tidak di sempurnakan.
Sejarah telah membuktikan
bahwa terwujudnya mutu, sikap profesionalisme, dan budaya mutu pada suatu
lembaga terlahir dari rentetan proses panjang yang terukur. Sikap profesional misalnya,
adalah lahir dari akumulasi niat dan kesadaran personal yang pada gilirannya
membentuk niat, kesadaran, dan tujuan kolektive. Oleh sebab itu, instrumen
peningkatan mutu yang membias dengan kepentingan
yang lain dan sesaat cenderung gagal dalam membangun sikap profesionalisme.
Negara dan bangsa yang maju dan beradab dewasa ini adalah bangsa yang
menjunjung tinggi nilai budaya profesionalisme, disiplin, dan suportivitas yang
tinggi. Semua ini akan dicapai, apabila suatu bangsa tersebut memiliki
kesadaran kolektiv yang tinggi, political
will, visi dan misi yang jelas, dan budaya penegakan hukum yang konsisten.
Ujia
Kompetensi; Tantangan Baru dan Masalah Baru
UU Guru
dan Dosen mewajibkan setiap guru untuk diuji kompetensinya. Dengan demikian,
uji kompetensi bersifat mengikat bagi semua guru, baik guru yunior maupun guru
senior, bahkan guru yang tinggal beberapa tahun lagi pensiun. Dengan jalan uji
kompetensi, kegiatan belajar mengajar dapat dipertanggungjawabkan secara
akademik terhadap generasi muda. Uji kompetensi bukan merupakan sesuatu yang
perlu ditakuti oleh guru. Uji kompetensi justru dapat memberikan tiga hal yang
bermanfaat bagi guru. Pertama, guru dapat merefleksikan potensi dan kompetensi
yang dimilikinya. Kedua, dengan mengetahui kompetensi dirinya, guru dapat
mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan kebutuhan pembelajaran. Ketiga,
diharapkan dengan hasil kompetensi yang baik, guru akan mudah mendapatkan
sertifikasi pendidikan yang akhirnya akan bermuara pada peningkatan
kesejahteraan guru sesuai dengan yang diamanatkan oleh UU Guru dan Dosen. Uji
kompetensi memerlukan perangkat tes yang mampu menguji kompetensi guru secara
menyeluruh. Oleh sebab itu, Uji kompetensi ini kedepan apakah akan menyisahkan
kualitas atau rasa cemas pada guru.
Uji kompetensi sekarang ini,
walaupun belum sepenuhnya diterima oleh pihak PGRI Pusat lantaran kebijakan
tersebut terkesan mempersulit guru untuk mendapatkan hak-haknya secara wajar. Selain
itu, kebijakan uji kompetensi ini juga, belum memiliki landasan serta juknis dan juklak yang jelas. Oleh karena itu,
kebijakan tersebut masih banyak dipertanyakan banyak pihak. Terlepas dari
polemik antara PGRI Pusat dan pemerintah diatas, kebijakan uji kompetensi ini
memiliki sisi positif yang patut diapresiasi, yakni mewujudkan kualitas guru bangsa
kedepannya yang lebih baik. Selain itu, uji kompetensi ini menjadi tantangan
tersendiri bagi guru untuk terus memperbaiki kualitas dirinya sehingga
menggapai profesionalisme itu sendiri.Kendatipun demikian, bukan berarti uji
kompetensi ini selalu berjalan lancar seperti yang diharapkan. Faktanya,
kebijakan uji kompetensi ini justru menjadi peluang bagi oknum tertentu untuk
mengadakan “bintek uji kompetensi ilegal” dengan mengatasnamakan pemerintah. Ini
berarti, pemerintah sendiri belum memiliki perangkat yang matang ketika
mengadakan uji kompetensi itu sendiri. Selain munculnya, “bintek legal” di
atas, dalam pelaksanaan uji komptensi pemerintah akan menghadapi persoalan yang
berkaiatan dengan objektivitas dan kualitas dari hasil uji kompetensi tersebut.
Oleh karena itu, pihak-pihak terkait seperti LPMP dan Dinas setempat harus
kerja ekstra keras untuk “mensterilkan” dari budaya nepotisme dan sejenisnya sekaligus
mewujudkan pelaksanaan uji kompetensi yang berkualitas dan bermartabat.
Penulis
adalah Staf Pengajar di IAIN dan Pemerhati Pendidikan sekaligus Pengasuh
Alamtara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar