Kamis, 15 Maret 2012

PERTAUTAN LOGIKA PENDIDIKAN DENGAN LOGIKA KAPITALIS

Oleh: Abdul Malik, M.Ag., M.Pd

Kita hidup saat ini adalah dalam budaya yang “bodoh secara spiritual”
(Danah Zohar dan Ian Marsshall dalam SQ:Spritual Intellegence-The Ultimate Intelegence, 2001, hlm. 267)

Pergeseran eksistensi dan makna pendidikan bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah dari faktor-faktor mainstrem dunia yang berlaku saat ini. Adalah kapitalisme yang menjadi mainstream dunia dan world view (pandang dunia) yang telah berhasil mempengaruhi dan menentukan segala pola eksistensi manusia sekaligus aspek-aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan. Selanjutnya kapatalisme telah diyakini sebagai akhir dari peradaban manusia dewasa ini. Hal ini digambarkan oleh tesis F.Fukumaya dalam bukunya ‘The and of history and the last man”. Dalam buku ini, Fukuyama menyimpulkan bahwa sejarah peradaban manusia akan berakhir pada idiologi kapitalisme. Oleh karena itu, nilai-nilai kapitalisme lah yang memenangkan sekaligus menentukan sejarah peradaban ummat manusia saat ini dan selanjutnya.
Anehnya, tesis Fukuyama ini telah dianut oleh sebagian besar dari penduduk dunia saat ini, tidak terkecuali Indonesia. Lebih aneh lagi banyak orang tidak percaya kalau kapitalisme dengan segala perangakatnya ini telah nyata dalam kehidupan manusiaa saat ini. Orang masih percaya bahwa kapitalisme hanyalah sembongkahan teori semata. Banyak orang tidak sadar kalau segala kekacauan dan anomali dalam kehidupan sosial merupakan hasil dari idialogi kapitalisme tersebut. Keadaan ini tercermin dari tingkah laku, pola pikir, dan cara pandang masyarakat dunia yang plural menuju unifikasi besar.
Banyak bukti dalam kehidupan keseharian manusia, yang tidak terlepas dari pengaruh arus kapitalisme global (Modrnitas; Antony Gidens). Sadar atau tidak, segala eksistensi diri manusia dewasa ini telah diatur oleh perangkat dan sistem kapitalisme global yang begitu halus sekaligus tidak manusiawi. Tidak ada satu faktor kehidupanpun yang bisa lepas secara total dari perangkat kapitalisme global abad ini. Baik itu pendidikan, budaya, sosial, agama, maupun kedirian manusia itu sendiri pudar bersama mesin-mesin kapitalis, iklan, dan simbol-simbol yang serba nisbi. Kemudian setiap orang sudah tidak bisa membedakan mana asli dan palsu, mana kenyataan dan imajinasi, simbol dan subtansi, mana keinginan dan kebutuhan. Semuanya menyatu dan bergerak dengan kecapatan tinggi. Kerancauan ini atau dengan kata lain turbulensi (meminjam istilah Jean Baudrillad) merupakan bentuk ekspansi sistem kapitalis ke dalam segala aspek kehidupan masyarakat modern.
Pertautan Nilai Kapitalis Dengan Nilai Pendidikan
Ekspansi sistem kapitalisme ke dalam dunia pendidikan telah menciptakan sebuah kondisi bertautanya logika pendidikan dan logika kapitalis. Pendidikan kemudian menjelma mejadi mesin kapitalis,yaitu mesin untuk mencari keuntungan (Baca: Swastanisasi Lembaga pendidikan). Pendidikan juga menjadi mesin pencitraan kapitalisme (image capitalisme), yakni mesin yang menciptakan citra-citra kapitalis.  Misalnya lembaga, individu, pengetahuan, dan lain-lain.
Dunia pendidikan yang sejatinya dibangun berlandaskan nilai-nilai objektivitas, keilmiahan (scientific), dan kebijaksanaan sebagai nilai dasar dalam pencarian pengetahuan. Kini dimuati oleh nilai-nilai komersial sebagai refleksi keberpihakan pada hegemoni kapitalis. Pendidikan sebagai wahana pencarian pengetahuan dan kebenaran sekarang bergeser menjadi wahana pencarian keuntungan (profit ) semata. Terjadinya pergeseran makna ini menciptakan sebuah relasi baru pengetahuan yang tidak saja berupa relasi kekuasaan dengan pengetahuan, akan tetapi juga pengetahuan dengan keuntungan (Power and Knowledge, Michel Foucault)
  Ketika pendidikan menjadi bagian integral dari sistem kapitalis, maka berbagai paradigma, metode, teknik, dan perangkat-perangkat yang dikembangkan di dalamnya menjadi jalan untuk mengukuhkan hegemoni budaya kapitalisme tersebut (Hegemoni, Gramsci dan Louis Althusser). Dalam dunia pendidikan baik itu kampus atau sekolah praktik kapitalisme ini tercermin  pada perilaku dan gaya hidup peserta didik serta dari penentu kebijakan, sistem, undang-undang, dan aturan kampus yang berlaku. Semua kebijakan ataupun aturan kampus mengatasnamakan keilmiahan, disiplin, kepatuhan, dan objektivitas. Kapitalisme menjadikan pendidiakan dan pengetahuan yang dihasilkan di dalamnya sebagai komoditi, dalam rangka mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Kapitalisme menciptakan sebuah kondisi merkantalisme pengetahuan, yaitu komodifikasi pengetahuan dalam konteks penimbunan kapital dan keuntungan. Jika merkantalisme pengetahuan menjadi fondasi dari institusi pendidikan, maka berbagai bentuk wacana, komersial dan komodifikasi dicangkokkan dalam sistem pendidikan. Disinilah matinya ruh pendidikan itu. Bila kecenderungan bartautnya citra dunia pendidikan dengan citra kapitalis terus berlanjut; bila pendidikan terus disokong  budaya tanda, citra, dan gaya hidup. Kemudian, bila pendidikan hanya memproduksi mentalitas pekerja serta ilmuwan kapitalis maka distorsi nila-nilai di dalam dunia pendidikan akan berkembang semakin besar.
Melawan hegemoni kapitalisme global adalah merubah pandangan dunia (world view). Artinya merubah paradigma kehidupan sosial itu sendiri. Dunia pendidikan sejatinya tidak lagi mengikuti model kapitalisme yang memuja keuntungan dan nilai-niali komersial, sebagai satu-satunya tujuan. Dunia pendidikan di masa depan tidak bisa lagi menutup mata terhadap indikator-indikator sosial, moral, dan spritual yang yang lebih luas dan bermakna ketimbang angka kwantitas dan keuntungan semata. Untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat yang baru di dalam dunia pendidikan – yang terlepas dari perangkap kapitalis – tampaknya diperlukan pembelajaran social (social learning) yang melibatkan masyarakat secara keseluruhan dan totalitas. Salah satu proses pembelajaran yang sangat penting adalah menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap perlunya “perubahan pandangan hidup” (Pendidikan berbasis penyadaran, Paul Farier)
Dunia pendidikan kedepan harus menjadi ruang, di dalamnya setiap orang mulai belajar akan makna, hakikat hidup, subtansi kehidupan serta kehidupan sederhana. Yakni dengan mengurangi peran simbol, konsumtif, dan citra dalam mendorong setiap orang untuk tidak berlebihan dalam setiap perilakunya. Tidak  bisa dinafikan misalnya, merajalelanya perilaku korupsi di negeri ini salah satu penyebabnya adalah tuntutan gaya hidup yang tinggi (gaya hidup materialisme-hidonoisme). Kemudian selanjutnya nilai-nilai gaya hidup materialisme-hidonisme ini merambat masuk kedalam pola-pola pendidikan yang berlaku saat ini. Ironisnya. Gaya hidup tersebut secara perlahan dan halus seiring perjalanan waktu menjadi “lingkungan baru” bagi dunia pendidikan serta bagi aspek kehidupan lainya.  Oleh karena itu, pendidikan hari ini telah terjadi disorientasi dari “nilai-nilai” kehidupan yang lebih hakiki menuju kehidupan semu. Pendidikan hari ini lebih berorientasi pada ranah otak sekaligus berorientasi  untuk memenuhi hasrat simbol dan citra semata. Sehingga tidak heran output yang dihasilkan adalah manusia-manusia yang pintar  tetapi kosong akan moral, kosong akan nilai-nilai kefitrahan. Allahu  a’lam.

Penulis adalah Dosen di IAIN Mataram serta Pengasuh Alamtara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar