Oleh: Abdul Malik, M.Ag., M.Pd
Kita hidup saat ini adalah dalam budaya yang “bodoh secara
spiritual”
(Danah Zohar dan Ian Marsshall dalam SQ:Spritual
Intellegence-The Ultimate Intelegence, 2001, hlm. 267)
Pergeseran eksistensi dan makna
pendidikan bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah dari
faktor-faktor mainstrem dunia yang
berlaku saat ini. Adalah kapitalisme yang menjadi mainstream dunia dan world
view (pandang dunia) yang telah berhasil mempengaruhi dan menentukan segala
pola eksistensi manusia sekaligus aspek-aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan.
Selanjutnya kapatalisme telah diyakini sebagai akhir dari peradaban manusia
dewasa ini. Hal ini digambarkan oleh tesis F.Fukumaya dalam bukunya ‘The and of history and the last man”.
Dalam buku ini, Fukuyama menyimpulkan bahwa sejarah peradaban manusia akan
berakhir pada idiologi kapitalisme. Oleh karena itu, nilai-nilai kapitalisme lah
yang memenangkan sekaligus menentukan sejarah peradaban ummat manusia saat ini
dan selanjutnya.
Anehnya, tesis Fukuyama ini telah
dianut oleh sebagian besar dari penduduk dunia saat ini, tidak terkecuali
Indonesia. Lebih aneh lagi banyak orang tidak percaya kalau kapitalisme dengan
segala perangakatnya ini telah nyata dalam kehidupan manusiaa saat ini. Orang
masih percaya bahwa kapitalisme hanyalah sembongkahan teori semata. Banyak
orang tidak sadar kalau segala kekacauan dan anomali dalam kehidupan sosial
merupakan hasil dari idialogi kapitalisme tersebut. Keadaan ini tercermin dari
tingkah laku, pola pikir, dan cara pandang masyarakat dunia yang plural menuju
unifikasi besar.
Banyak bukti dalam kehidupan
keseharian manusia, yang tidak terlepas dari pengaruh arus kapitalisme global
(Modrnitas; Antony Gidens). Sadar atau tidak, segala eksistensi diri manusia
dewasa ini telah diatur oleh perangkat dan sistem kapitalisme global yang
begitu halus sekaligus tidak manusiawi. Tidak ada satu faktor kehidupanpun yang
bisa lepas secara total dari perangkat kapitalisme global abad ini. Baik itu
pendidikan, budaya, sosial, agama, maupun kedirian manusia itu sendiri pudar
bersama mesin-mesin kapitalis, iklan, dan simbol-simbol yang serba nisbi. Kemudian
setiap orang sudah tidak bisa membedakan mana asli dan palsu, mana kenyataan
dan imajinasi, simbol dan subtansi, mana keinginan dan kebutuhan. Semuanya
menyatu dan bergerak dengan kecapatan tinggi. Kerancauan ini atau dengan kata
lain turbulensi (meminjam istilah
Jean Baudrillad) merupakan bentuk ekspansi sistem kapitalis ke dalam segala
aspek kehidupan masyarakat modern.
Pertautan Nilai Kapitalis Dengan Nilai Pendidikan
Ekspansi sistem kapitalisme ke
dalam dunia pendidikan telah menciptakan sebuah kondisi bertautanya logika
pendidikan dan logika kapitalis. Pendidikan kemudian menjelma mejadi mesin
kapitalis,yaitu mesin untuk mencari keuntungan (Baca: Swastanisasi Lembaga
pendidikan). Pendidikan juga menjadi mesin pencitraan kapitalisme (image capitalisme), yakni mesin yang
menciptakan citra-citra kapitalis.
Misalnya lembaga, individu, pengetahuan, dan lain-lain.
Dunia pendidikan yang sejatinya
dibangun berlandaskan nilai-nilai objektivitas, keilmiahan (scientific), dan kebijaksanaan sebagai
nilai dasar dalam pencarian pengetahuan. Kini dimuati oleh nilai-nilai
komersial sebagai refleksi keberpihakan pada hegemoni kapitalis. Pendidikan
sebagai wahana pencarian pengetahuan dan kebenaran sekarang bergeser menjadi
wahana pencarian keuntungan (profit )
semata. Terjadinya pergeseran makna ini menciptakan sebuah relasi baru
pengetahuan yang tidak saja berupa relasi kekuasaan dengan pengetahuan, akan
tetapi juga pengetahuan dengan keuntungan (Power
and Knowledge, Michel Foucault)
Ketika pendidikan menjadi bagian integral dari sistem kapitalis, maka
berbagai paradigma, metode, teknik, dan perangkat-perangkat yang dikembangkan
di dalamnya menjadi jalan untuk mengukuhkan hegemoni budaya kapitalisme
tersebut (Hegemoni, Gramsci dan Louis Althusser). Dalam dunia pendidikan baik
itu kampus atau sekolah praktik kapitalisme ini tercermin pada perilaku dan gaya hidup peserta didik
serta dari penentu kebijakan, sistem, undang-undang, dan aturan kampus yang
berlaku. Semua kebijakan ataupun aturan kampus mengatasnamakan keilmiahan,
disiplin, kepatuhan, dan objektivitas. Kapitalisme menjadikan pendidiakan dan
pengetahuan yang dihasilkan di dalamnya sebagai komoditi, dalam rangka
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Kapitalisme menciptakan sebuah
kondisi merkantalisme pengetahuan, yaitu
komodifikasi pengetahuan dalam konteks penimbunan kapital dan keuntungan. Jika merkantalisme pengetahuan menjadi
fondasi dari institusi pendidikan, maka berbagai bentuk wacana, komersial dan
komodifikasi dicangkokkan dalam sistem pendidikan. Disinilah matinya ruh
pendidikan itu. Bila kecenderungan bartautnya citra dunia pendidikan dengan
citra kapitalis terus berlanjut; bila pendidikan terus disokong budaya tanda, citra, dan gaya hidup. Kemudian,
bila pendidikan hanya memproduksi mentalitas pekerja serta ilmuwan kapitalis
maka distorsi nila-nilai di dalam dunia pendidikan akan berkembang semakin
besar.
Melawan hegemoni kapitalisme global
adalah merubah pandangan dunia (world
view). Artinya merubah paradigma kehidupan sosial itu sendiri. Dunia
pendidikan sejatinya tidak lagi mengikuti model kapitalisme yang memuja
keuntungan dan nilai-niali komersial, sebagai satu-satunya tujuan. Dunia
pendidikan di masa depan tidak bisa lagi menutup mata terhadap
indikator-indikator sosial, moral, dan spritual yang yang lebih luas dan
bermakna ketimbang angka kwantitas dan keuntungan semata. Untuk menumbuhkan
kesadaran masyarakat yang baru di dalam dunia pendidikan – yang terlepas dari
perangkap kapitalis – tampaknya diperlukan pembelajaran social (social learning) yang melibatkan
masyarakat secara keseluruhan dan totalitas. Salah satu proses pembelajaran
yang sangat penting adalah menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap perlunya
“perubahan pandangan hidup” (Pendidikan berbasis penyadaran, Paul Farier)
Dunia pendidikan kedepan harus
menjadi ruang, di dalamnya setiap orang mulai belajar akan makna, hakikat
hidup, subtansi kehidupan serta kehidupan sederhana. Yakni dengan mengurangi
peran simbol, konsumtif, dan citra dalam mendorong setiap orang untuk tidak
berlebihan dalam setiap perilakunya. Tidak
bisa dinafikan misalnya, merajalelanya perilaku korupsi di negeri ini
salah satu penyebabnya adalah tuntutan gaya hidup yang tinggi (gaya hidup
materialisme-hidonoisme). Kemudian selanjutnya nilai-nilai gaya hidup
materialisme-hidonisme ini merambat masuk kedalam pola-pola pendidikan yang
berlaku saat ini. Ironisnya. Gaya hidup tersebut secara perlahan dan halus
seiring perjalanan waktu menjadi “lingkungan baru” bagi dunia pendidikan serta
bagi aspek kehidupan lainya. Oleh karena
itu, pendidikan hari ini telah terjadi disorientasi dari “nilai-nilai”
kehidupan yang lebih hakiki menuju kehidupan semu. Pendidikan hari ini lebih
berorientasi pada ranah otak sekaligus berorientasi untuk memenuhi hasrat simbol dan citra
semata. Sehingga tidak heran output
yang dihasilkan adalah manusia-manusia yang pintar tetapi kosong akan moral, kosong akan
nilai-nilai kefitrahan. Allahu a’lam.
Penulis adalah
Dosen di IAIN Mataram serta Pengasuh Alamtara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar