Oleh
Abdul Malik
Pemerintah dalam hal ini Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, sebagai pusat sekaligus koordinator kebijakan
pendidikan di seluruh nusantara. Sudah saatnya memandang dengan kecamata
realitas, bahwa negara ini akan maju saat bangsanya berpendidikan layak sesuai
dengan karakter budaya bangsa itu sendiri. Pendidikan yang layak memungkinkan bangsa seperti Jepang
mampu tampil sebagai negara besar dan maju pada saat sekarang. Kemajuan negara
Jepang dewasa ini tentu tidak lepas dari
spirit dan mental manusia Jepang yang telah menjadi karakter bangsa Jepang
sejak dulu. Karakter yang telah membudaya ini, menjalar pada pola pikir,
mental, emosional, dan spiritual yang pada gilirannya melahirkan kepribadian
yang berujung pada kinerja orang Jepang itu sendiri. Persoalan kemudian
bagaimana dengan bangsa Indonesia tercinta ini memulai kemajuannya? Bagaimana
pula dengan nasional karakter bangsa ini dibangun? Tidak mudah untuk menjawab
pertanyaan di atas secara tuntas, karena pertanyaan tersebut merupakan
permasalahan mendasar yang sedang dialami oleh bangsa sekarang ini. Kendatipun
demikian, aspek-aspek kunci untuk memperbaiki bangsa ini sudah kita pahami
bersama. Adalah pendidikan sebagai kata kunci yang dimaksudkan itu, apalagi
dengan menaikan anggaran pada sektor pendidikan saat ini, selayaknya harus
berdampak pada peningkatan mutu pedidikan secara holistik dan sistemik termasuk
kualitas guru.
Secara eksternal ada beberapa hal
yang menjadi kendala bagi terciptanya profesionalisme guru. (1). Semakin
sempitnya kewenangan atau otoritas guru dalam proses mendidik dan mengajar
pesera didik, (2) kualitas atasan atau pimpinan yang mengawasi dan mengontrol
para guru, (3) Rendahnya pemberian punisment
and rewad pada guru. Di Indonesia otoritas guru itu cukup sempit sekali
tidak sebanding dengan beban tanggung jawab yang dituntut oleh pemerintah dan
masyarakat. Oleh karena itu, tidak heran kebanyakan guru di sekolah lebih tidak
kreatif dan inovatif apalagi produktif. Keberadaan guru di sekolah “kasarnya” hanya
mengikuti jadwal, kurikulum, yang telah ditetapkan sekolah dan pemerintah. Selain itu,
eksistensi dan kemerdekaan guru terkungkung oleh hegemoni “kekuasaan dan
hasrat” kepala sekolah. Selain pada ranah birokratif, ranah educatif pun kadang guru tidak mempunyai
kewenangan yang luas (untuk tidak mengatakan “dirampas” kewenangannya). Di
sekolah, proses belajar mengajar berjalan dengan lancar dan tertib, soalah-olah
tidak ada masalah padahal yang terjadi adalah ada ke kosongan dan kerapuhan di
dalam pendidika yang sedang dilakukan . Seluruh materi diajarkan selesai sesuai
dengan kurikulum dan jadwal. Nilai raport pun semuanya baik, dijamain para
siswa mendapatkan nilai rata-rata enam walaupun banyak “kejanggalan”.
Katakanlah berkaitan dengan “nilai ketuntasan minimal,” dalam konteks ini, ada
kesan bahwa guru dibelenggu otoritas-otoritasnya dalam mengembangkan tugas
secara maksimal. Baik terbelenggu oleh kondisi yang ada di sekolah tersebut
maupun oleh kebijakan pemerintah itu sendiri. Pada tingkat kebijakan pemerintah
pusat misalnya; persoalan otoritas guru masih mejadi permasalahan tersendiri.
Otoritas ini pada hakekatnya berkaitan dengan profesionalisme dan keberlangsungan
tugas guru secara tuntas. Misalnya dalam skala makro otoritas para guru masih
sangat sempit, hal ini dapat di lihat dari perangkat-perangkat hukum atau
regulasi yang menunjang otoritas tersebut. Misalnya, sejauh mana batas-batas peran
serta (otoritas) guru dalam menangani peserta didik yang bermasalah, bagaimana
dan sejauh mana guru menempatkan hak-hak serta tanggung jawabnya sebagai
pendidik dan pengajar ketika menghadapi peserta didiknya. Kalau ditinjau secara
kritis kegagalan sekolah membentuk pribadi sisiwa selama ini sesungguhnya
disebabkan karena otoritas guru telah dipangkas, direduksi sehingga tupoksi
guru tidak berjalan sebagaimana mestinya. Guru semestinya, memiliki tupoksi
mendidik dan mengajar dalam arti yang cukup luas, sistimatik, sistemik,
integratif, holistik, dan kontinue tetapi pada kenyataan sekarang kebanyakan
guru hanya menjalankan tugasnya sebagi pengajar atau mengajar an sih. Kebanyakan guru sekarang ini memaknai
tugas utamnya adalah hanya mengajar, sehingga tidak heran kemudian guru datang
ke sekolah hanya menggugurkan kewajiban semata, hubungan dengan siswa bersifat
mekanik, proses belajar yang dijalankan lebih kaku dan terjebak pada hegemoni
kurikulum. Sehingga kemudian, kenapa pendidikan yang berorientasi perubahan
karakter peserta didik tidak tercapai dengan baik karena aspek dan domain guru
dalam arti mendidik justru sudah tidak dilaksanakan dan dinafikan. Selain itu
pula, pendidikan yang dijalankan sekarang ini lebih memenuhi hasrat kognitif
semata ketimbang kebutuhan afektif dan hatinya. Sehingga pada akhirnya pembangunan
karakter peserta didik tidak
simultan antara pembinaan pikir (IQ) dan hatinya (SQ) dan tidak seimbang antara
pencerdasan otaknya dengan pencerahan hatinya. Ini
semua terjadi lantara tugas pokok guru itu sudah bergeser dan tereduksi secara
besar-besaran. Padahal membina segala potensi siswa adalah tugas utama guru
yang mengarah pada pengembangan perilaku dan pengetahuan peserta didik
seutuhnya. Pendidikan yang sejati adalah pendidikan integratif-holistik yang harus berdampak pada
perubahan pola pikir dan pola laku peserta didik. Hal ini sinkron dengan
otoritas guru yang diamanatkan oleh undang-udang RI Nomer 14 tahun 2005, bab I, pasal 1, ayat, 1 disebutkan, bahwa yang
dimaksud dengan guru adalah pendidik profesional
dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, dan
mengevaluasi peserta didik (UU nomor 14 tahun 2005). Jadi, jelas sangat keliru
jika pendidikan dewasa ini hanya diterjemahkan dan dijewantahkan sebagai proses
pengajaran semata. Oleh karena itu, semua pemangku pedidikan seharusnya mengembalikan
tugas dan fungsi pokok guru ke fitrahnya, agar tercipta pendidikan yang
berdampak abadi. Seperti pendapatnya Henry Adam, bahwa “guru itu berdampak
abadi, ia tidak pernah tahu, dimana pengaruhnya itu berhenti” (A teacher
effects eternity, he can never tell where his influence stops).
Dewasa ini banyak sekali, guru yang
was-was pada saat mendidik dan mengajar, hal ini terjadi karena guru dihadapkan
dengan undang-undang perlindungan anak dan undang-undang sejenis yang sering diterjemahkan
secara sensintif dan tidak proposional oleh orang tua murid. Sebagai faktanya,
berapa banyak guru yang dilaporakan ke polisi lantaran dianggap melakukan
kekerasan pada peserta didik. Begitu juga, was-was yang diakibatkan oleh
manajemen dan personifikasi kepala sekolah yang cenderung otoriter dan kaku.
Pada hakekatnya kondisi tersebut memberikan beban psiklogis tersendiri pada
guru sehingga terjadi distorsi besar terhadap otoritas guru dalam mendidik siswanya.
Sehingga, jika kondisi ini tidak segera diperbaiki maka jangan bertanya kenapa
guru banyak yang tidak kreatif, produktif, kurang rasa ingin tahu terhadap
perkembangan siswanya, dan tidak memiliki gelisahan atas kualitas out put yang dihasilkannya. Di Jepang
wewenang guru cukup luas sekali, konon sampai guru memiliki hak untuk menegur
dan memarahi wali murid apabila orang tua murid tersebut tidak mampu mendidik
anaknnya di rumah dengan baik sesuai dengan tuntutan dan pesan sekolah. Selain
itu juga, guru memiliki otoritas penuh dalam memantau dan kontrol terhadap
keberhasilan kurikulum yang dilaksanakan di Sekolah. Dilihat dari peren guru di
atas tentu guru tidak hanya bertugas untuk mengajar dan mendidik semata akan
tetapi lebih luas dari pada itu. Untuk mencapai pada tingkat ini tentu
membutuhkan ketersediaan perangkat hukum dan perangkat yang lainnya. Dalam konteks di atas, bangsa Jepang menempatkan aspek pendidikan benar-benar
dijadikan tujuan dan tugas bersama dari masyarakat
(orang tua), guru, dan pemeritah. Sehingga, Jepang memiliki padangan, peran dan
perhatian yang sama terhadap pendidikan yang berujung pada kerja sama yang
solid dan mutualisme.
Para pendiri bangsa ini sebenarnya sudah
berulang kali mengingatkan bahwa peran dan keterlibatan aspek masyarakat, guru
dan pemerintah secara aktif dalam pendidikan adalah suatu keharusan, di mana
guru sebagai komandonya di lapangan harus diberikan wewenang dan otoritas yang
luas. Wewenang dan otoritas tersebut diatur, dilindungi, dan dikontrol oleh
undang-undang yang jelas dan mengikat. Dengan demikian diharapkan kedepan guru
dapat menjalankan peran dan fungsinya dengan maksimal sesuai dengan ruang dan
otoritasnya. Semoga.
Penulis adalah Dosen IAIN Mataram sekaligus Pemerhati
Pendidikan