Minggu, 15 April 2012

MEMBANGUN KEMBALI OTORITAS GURU


Oleh Abdul Malik
      
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebagai pusat sekaligus koordinator kebijakan pendidikan di seluruh nusantara. Sudah saatnya memandang dengan kecamata realitas, bahwa negara ini akan maju saat bangsanya berpendidikan layak sesuai dengan karakter budaya bangsa itu sendiri. Pendidikan  yang layak memungkinkan bangsa seperti Jepang mampu tampil sebagai negara besar dan maju pada saat sekarang. Kemajuan negara Jepang  dewasa ini tentu tidak lepas dari spirit dan mental manusia Jepang yang telah menjadi karakter bangsa Jepang sejak dulu. Karakter yang telah membudaya ini, menjalar pada pola pikir, mental, emosional, dan spiritual yang pada gilirannya melahirkan kepribadian yang berujung pada kinerja orang Jepang itu sendiri. Persoalan kemudian bagaimana dengan bangsa Indonesia tercinta ini memulai kemajuannya? Bagaimana pula dengan nasional karakter bangsa ini dibangun? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan di atas secara tuntas, karena pertanyaan tersebut merupakan permasalahan mendasar yang sedang dialami oleh bangsa sekarang ini. Kendatipun demikian, aspek-aspek kunci untuk memperbaiki bangsa ini sudah kita pahami bersama. Adalah pendidikan sebagai kata kunci yang dimaksudkan itu, apalagi dengan menaikan anggaran pada sektor pendidikan saat ini, selayaknya harus berdampak pada peningkatan mutu pedidikan secara holistik dan sistemik termasuk kualitas guru.
Secara eksternal ada beberapa hal yang menjadi kendala bagi terciptanya profesionalisme guru. (1). Semakin sempitnya kewenangan atau otoritas guru dalam proses mendidik dan mengajar pesera didik, (2) kualitas atasan atau pimpinan yang mengawasi dan mengontrol para guru, (3) Rendahnya pemberian punisment and rewad pada guru. Di Indonesia otoritas guru itu cukup sempit sekali tidak sebanding dengan beban tanggung jawab yang dituntut oleh pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu, tidak heran kebanyakan guru di sekolah lebih tidak kreatif dan inovatif apalagi produktif. Keberadaan guru di sekolah “kasarnya” hanya mengikuti jadwal, kurikulum, yang telah ditetapkan sekolah dan pemerintah.  Selain itu,  eksistensi dan kemerdekaan guru terkungkung oleh hegemoni “kekuasaan dan hasrat” kepala sekolah. Selain pada ranah birokratif, ranah educatif pun kadang guru tidak mempunyai kewenangan yang luas (untuk tidak mengatakan “dirampas” kewenangannya). Di sekolah, proses belajar mengajar berjalan dengan lancar dan tertib, soalah-olah tidak ada masalah padahal yang terjadi adalah ada ke kosongan dan kerapuhan di dalam pendidika yang sedang dilakukan . Seluruh materi diajarkan selesai sesuai dengan kurikulum dan jadwal. Nilai raport pun semuanya baik, dijamain para siswa mendapatkan nilai rata-rata enam walaupun banyak “kejanggalan”. Katakanlah berkaitan dengan “nilai ketuntasan minimal,” dalam konteks ini, ada kesan bahwa guru dibelenggu otoritas-otoritasnya dalam mengembangkan tugas secara maksimal. Baik terbelenggu oleh kondisi yang ada di sekolah tersebut maupun oleh kebijakan pemerintah itu sendiri. Pada tingkat kebijakan pemerintah pusat misalnya; persoalan otoritas guru masih mejadi permasalahan tersendiri. Otoritas ini pada hakekatnya berkaitan dengan profesionalisme dan keberlangsungan tugas guru secara tuntas. Misalnya dalam skala makro otoritas para guru masih sangat sempit, hal ini dapat di lihat dari perangkat-perangkat hukum atau regulasi yang menunjang otoritas tersebut. Misalnya, sejauh mana batas-batas peran serta (otoritas) guru dalam menangani peserta didik yang bermasalah, bagaimana dan sejauh mana guru menempatkan hak-hak serta tanggung jawabnya sebagai pendidik dan pengajar ketika menghadapi peserta didiknya. Kalau ditinjau secara kritis kegagalan sekolah membentuk pribadi sisiwa selama ini sesungguhnya disebabkan karena otoritas guru telah dipangkas, direduksi sehingga tupoksi guru tidak berjalan sebagaimana mestinya. Guru semestinya, memiliki tupoksi mendidik dan mengajar dalam arti yang cukup luas, sistimatik, sistemik, integratif, holistik, dan kontinue tetapi pada kenyataan sekarang kebanyakan guru hanya menjalankan tugasnya sebagi pengajar atau mengajar an sih. Kebanyakan guru sekarang ini memaknai tugas utamnya adalah hanya mengajar, sehingga tidak heran kemudian guru datang ke sekolah hanya menggugurkan kewajiban semata, hubungan dengan siswa bersifat mekanik, proses belajar yang dijalankan lebih kaku dan terjebak pada hegemoni kurikulum. Sehingga kemudian, kenapa pendidikan yang berorientasi perubahan karakter peserta didik tidak tercapai dengan baik karena aspek dan domain guru dalam arti mendidik justru sudah tidak dilaksanakan dan dinafikan. Selain itu pula, pendidikan yang dijalankan sekarang ini lebih memenuhi hasrat kognitif semata ketimbang kebutuhan afektif dan hatinya. Sehingga pada akhirnya pembangunan karakter peserta didik tidak simultan antara pembinaan pikir (IQ) dan hatinya (SQ) dan tidak seimbang antara pencerdasan otaknya dengan pencerahan hatinya. Ini semua terjadi lantara tugas pokok guru itu sudah bergeser dan tereduksi secara besar-besaran. Padahal membina segala potensi siswa adalah tugas utama guru yang mengarah pada pengembangan perilaku dan pengetahuan peserta didik seutuhnya. Pendidikan yang sejati adalah pendidikan  integratif-holistik yang harus berdampak pada perubahan pola pikir dan pola laku peserta didik. Hal ini sinkron dengan otoritas guru yang diamanatkan oleh undang-udang RI Nomer 14 tahun 2005, bab I, pasal 1, ayat, 1 disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, dan mengevaluasi peserta didik (UU nomor 14 tahun 2005). Jadi, jelas sangat keliru jika pendidikan dewasa ini hanya diterjemahkan dan dijewantahkan sebagai proses pengajaran semata. Oleh karena itu, semua pemangku pedidikan seharusnya mengembalikan tugas dan fungsi pokok guru ke fitrahnya, agar tercipta pendidikan yang berdampak abadi. Seperti pendapatnya Henry Adam, bahwa “guru itu berdampak abadi, ia tidak pernah tahu, dimana pengaruhnya itu berhenti” (A teacher effects eternity, he can never tell where his influence stops).
Dewasa ini banyak sekali, guru yang was-was pada saat mendidik dan mengajar, hal ini terjadi karena guru dihadapkan dengan undang-undang perlindungan anak dan undang-undang sejenis yang sering diterjemahkan secara sensintif dan tidak proposional oleh orang tua murid. Sebagai faktanya, berapa banyak guru yang dilaporakan ke polisi lantaran dianggap melakukan kekerasan pada peserta didik. Begitu juga, was-was yang diakibatkan oleh manajemen dan personifikasi kepala sekolah yang cenderung otoriter dan kaku. Pada hakekatnya kondisi tersebut memberikan beban psiklogis tersendiri pada guru sehingga terjadi distorsi besar terhadap otoritas guru dalam mendidik siswanya. Sehingga, jika kondisi ini tidak segera diperbaiki maka jangan bertanya kenapa guru banyak yang tidak kreatif, produktif, kurang rasa ingin tahu terhadap perkembangan siswanya, dan tidak memiliki gelisahan atas kualitas out put yang dihasilkannya. Di Jepang wewenang guru cukup luas sekali, konon sampai guru memiliki hak untuk menegur dan memarahi wali murid apabila orang tua murid tersebut tidak mampu mendidik anaknnya di rumah dengan baik sesuai dengan tuntutan dan pesan sekolah. Selain itu juga, guru memiliki otoritas penuh dalam memantau dan kontrol terhadap keberhasilan kurikulum yang dilaksanakan di Sekolah. Dilihat dari peren guru di atas tentu guru tidak hanya bertugas untuk mengajar dan mendidik semata akan tetapi lebih luas dari pada itu. Untuk mencapai pada tingkat ini tentu membutuhkan ketersediaan perangkat hukum dan perangkat yang lainnya. Dalam  konteks di atas, bangsa Jepang  menempatkan aspek pendidikan benar-benar dijadikan tujuan dan tugas bersama dari  masyarakat (orang tua), guru, dan pemeritah. Sehingga, Jepang memiliki padangan, peran dan perhatian yang sama terhadap pendidikan yang berujung pada kerja sama yang solid dan mutualisme.
Para pendiri bangsa ini sebenarnya sudah berulang kali mengingatkan bahwa peran dan keterlibatan aspek masyarakat, guru dan pemerintah secara aktif dalam pendidikan adalah suatu keharusan, di mana guru sebagai komandonya di lapangan harus diberikan wewenang dan otoritas yang luas. Wewenang dan otoritas tersebut diatur, dilindungi, dan dikontrol oleh undang-undang yang jelas dan mengikat. Dengan demikian diharapkan kedepan guru dapat menjalankan peran dan fungsinya dengan maksimal sesuai dengan ruang dan otoritasnya. Semoga.
Penulis adalah Dosen IAIN Mataram sekaligus Pemerhati Pendidikan

GURU ADALAH MANUSIA PEMBELAJAR

Oleh; Abdul Malik
           
Kalau kita belajar dari guru yang terus belajar, maka rasanya bagaikan minum dari sebuah pancuran mata air segar yang terus mengalir; tetapi kalau kita belajar dari guru yang tidak lagi belajar, maka ibaratnya kita minum dari sebuah genangan air yang tidak mengalir sekaligus tidak segar.
 (Motto Inggris)
            Begitulah bunyi salah satu motto yang dipajang pada salah satu sekolah di Inggris. Walaupun sekedar moto, tetapi pesan moral dari moto di atas memberikan isyarat dan makna akan pentingnya seorang guru untuk terus memperbaiki dan membangun kompetensinya secara kontinue. Keberadaan guru sebagai pilar utama dalam membangun kualitas pendidikan merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-ptawar lagi, oleh sebab itulah setiap bangsa terus berusaha untuk meningkatkan kesadaran guru untuk terus meningkatkan kualitasnya dengan bergai macam cara dan kebijakan. Di Indonesia misalnya,  adanya sertifikasi guru, PLPG, Uji kompetnsi dan kegiatan lainnya merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk membangun kualitas guru tersebut. Sayangnya kebijakan tersebut selamanya tetap menjadi suatu kebijakan tanpa mampu mendorong terjadinya perubahan kemampuan guru. Perubahan dan peningkatan kualitas guru pada dasarnya tidak dapat diwujudkan dari kebijakan atau faktor eksternal semata akan tetapi lebih dipengaruhi oleh faktor internal yakni lahir dari kesadaran dan niat guru itu sendiri untuk berubah dan maju.  
 Diantara masalah pendidikan yang menjadi perhatian pemerintah adalah persoalan mutu guru. Bukanlah menjadi rahasia umum bahwa rendahnya kualitas proses pendidikan dan output pendidikan sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kualitas guru yang terlibat di dalamnya. Oleh sebab itulah, banyak para ahli pendidikan meyakini bahwa kualitas guru adalah kunci utama kemajuan bangsa. Menyadari beban tugas tersebut, seorang guru sejatinya harus mampu mengembangkan dirinya terus menerus, baik meningkatkan budaya belajar (baca), menulis, maupun budaya riset. Rendahnya budaya belajar guru dalam arti kurangnya minat baca, menulis, dan riset para guru ini menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan dan pengajaran di dalam kelas secara holistik. Padahal ketiga hal ini merupakan modalitas belajar guru yang besar yang pada akhirnya mewujudkan sekaligus membantu keberhasilan guru dalam tugas pendidikan dan pengajarannya.
Hasil survey yang dilakukan pada guru sekolah SD, dan SLTP  di salah satu Kabupaten yang ada di provensi Nusa Tenggara Barat tahun 2009-2010, bahwa 79% guru di sekolah tersebut memiliki masalah dengan daya belajar (learning capabality). Daya belajar sesungguhnya merupakan modalitas belajar bagi guru untuk bisa mengembangkan dirinya sebagai pendidik dan pengajar. Rendah atau lemahnya daya belajar (learning capabelity) tentu menghambat terwujudnya budaya belajar dikalangan guru khususnya dan masyarakat umumnya. Karena bagaimanapun budaya belajar dapat diwujudkan dengan maksimal apabila dimotori dan didorong dari dalam guru itu sendiri atau disebut dengan kompetensi soft skill. Sementara dorongan dari luar atau disebut dengan hard skill seperti perangkat kebijakan, media belajar, sumber belajar, lingkungan sekolah, dan lain-lain selama ini terbukti tidak memberikan kontribusi yang berarti bagi suatu perubahan diri secara maksimal. Oleh sebab itulah, tidak heran kemudian kenapa pendidikan dan pelatihan guru selama ini, cenderung  gagal dan tidak berdampak. Karena konsep pendidik dan pelatihan selama ini lebih memperhatikan aspek eksternal yang berupa hard skill dibandingkan aspek soft skill seperti motivasi diri, minat, kesadaran, kepercayaan,dan pengaruh, yang sejatinya menjadi tujuan utama dari pendidikan dan pelatihan itu sendiri. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahw rendahnya budaya belajar guru ini terbangun dari rendahnya kesadaran dan minat baca serta menulis guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar.
Terkait dengan hal itu, ada dua hal yang saling terkait satu sama lain dalam peningkatan kompetensi sekaligus profesionalisme guru. Yakni learning capabelity (daya belajar) dan teaching competence (kemampuan mengajar). learning capabelity (daya belajar) adalah kemampuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemahiran yang telah dimiliki dengan usaha sendiri, tanpa tergantung kepada bantuan atau bimbingan dari orang lain atau faktor luar. Diantara bentuk daya belajar tersebut adalah rasa ingin tau, motivasi diri, daya evaluasi diri, minat, adanya kemauan, kepercayaan diri, kekuatan niat, dan lain-lain. Sementara teaching competence (kemampuan mengajar) adalah dampak langsung dari adanya daya belajar yakni terciptanya kemampuan untuk mengolah segala potensi baik dari dalam diri maupun dari luar untuk kepentingan mengajar sehingga tercapai tujuan belajar. Perlu ditegaskan kembali bahwa guru profesional yang berkarakter adalah guru yang selalu berusaha untuk terus menerus belajar demi meningkatkan kemampuan mengajarnya. Guru profesional sejati tidak hanya mengandalkan pengalaman semata sebagai referensi utama dalam mengajar. Akan tetapi, pengalaman yang ada harus dielaborasi, dipadukan, dikembangkan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan, teknologi informasi dan masyarakat global dewasa ini. Dan yang lebih penting seorang guru di era transformasi informasi yang terbuka ini, guru harus siap membuka diri terhadap perkembangan informasi dan pengetahuan yang berkembang. Sehingga dengan demikian seorang guru dapat meng-update ilmunya setiap saat. Salah satu permasalahan pendidikan sekarang ini adalah lemah dan kurangnya kemampuan guru “mengikat makna” pendidikan dan pengajarannya.  Itulah sebabnya kenapa pendidikan yang dilakukan sekarang ini kurang terasa hidup dan berpengaruh terhadap kehidupan peserta didik. Apalagi perkembangan jaman sekarang ini, memungkinkan siswa mendapatkan informasi dari beragam sumber dengan cepat. Akibatnya, siswa menjadi lebih cerdas, kritis dan lebih cepat serta banyak tahu dari pada gurunya. Inilah salah satu pertimbangannya mengapa guru harus selalu belajar.
Indikator  rendahnya budaya belajar guru di Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah rendahnya indeks prestasi manusia di skala nasional kemudian minimnya guru mengunjungi perpustakaan. Baik perpustakaan sekolah maupun perpustakan daerah atau Kota. Sementara indikator yang lain adalah minimnya karya tulis yang dihasilkan oleh guru, baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan. Adanya perpustakaan sekolah ataupun perpustakaan kota dan daerah sesungguhnya bertujuan membantu setiap guru dan masyarakat untuk bisa mengembangkan dirinya secara maksimal. Artinya semakin cerdas dan luas wawasan seorang guru maka semakin berpelung dan mudah peserta didik untuk memperoleh ilmu yang banyak. Selain itu, semakin meningkatnya wawasan dan pengetahuan seorang guru akan sangat membantu merangsang, memotivasi, serta memberikan alternatif informasi pengetahuan bagi peserta didik dalam pembelajaran. Selama ini guru terkesan mengajar bermodalkan pengetahuan yang minim dan mengandalkan pengalaman yang sudah “berkarat”. Sehingga pada saat mengajar guru hanya mengulang hal yang sama dan akhirnya membosankan bagi peserta didik.  Ada beberapa alasan terkait dengan menurunnya daya belajar guru ini. Pertama, tidak adanya motivasi diri dan motivasi pimpinan untuk meningkatkan kemampuan guru, kedua kurangnya kegelisahan guru terhadap mutu peserta didik ketiga, terjadinya disorientasi terhadap pemahaman guru atas tupoksi dan peran guru itu sendiri keempat, tidak adanya kesempatan dan waktu luang untuk belajar, kelima kurang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, keenam kurangnya penghargaan terhadap guru yang berprestasi sekaligus lemahnya phunisment (hukuman) terhadap guru yang bermutu rendah, dan ketujuh guru sering merasa cukup dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki. Kedelapan, lemahnya rasa tanggung jawab guru terhadap profesi keguruan yang dijalankan.  Semua alasan di atas, merupakan diantara dari sekian banyak alasan sekaligus penyebab kenapa guru tidak dapat membangun budaya belajar secara maksimal selama ini. Oleh karena itu, apabila pemerintah dan pemangku pendidikan ingin mewujudkan budaya belajar di kalangan guru maka alasan-alasan di atas harus menjadi perhatian khusus untuk dipecahkan. Akhirnya semoga guru di Provinsi NTB kedepan mampu menjadikan tradisi membaca dan menulis sebagai budaya demi meraih pendidikan yang berkualitas sekaligus mewujudkan guru sebaga manusia pembelajar.      

Penulis adalah dosen IAIN Mataram Sekaligus Pemerhati Pendidikan

Kamis, 12 April 2012

UJIAN NASIONAL (UN): SEBUAH PERTARUHAN MORAL


Oleh: Abdul Malik
Pendidikan merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan di setiap negara. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2004 pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses pembelajaran. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang mulia ini disusunlah kurikulum yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan dan metode pembelajaran. Kurikulum digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan yangbtelah ditentukan. Untuk melihat tingkat pencapaian tujuan pendidikan, diperlukan suatu bentuk evaluasi.Dengan demikian evaluasi pendidikan merupakan salah satu komponen utama yang tidak dapat dipisahkan dari rencana pendidikan. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua bentuk evaluasi dapat dipakai untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Informasi tentang tingkat keberhasilan pendidikan akan dapat dilihat apabila alat evaluasi yang digunakan sesuai dan dapat mengukur setiap tujuan.
            Terlepas dari polimik atas kelemahan dan kelebihan sistem avaluasi pendidikan selama ini, pemerintah tetap melakukan evaluasi pendidikan dengan menggunakan sistem ujian nasional dengan pola 40% ujian sekolah dan 60% ujian nasional. Untuk mensukseskan pelaksanaan ujian nasional sekarang ini pemerintah telah mengeluarkan dana Milliaran rupiah. Artinya, kalau ditinjau dari sisi ekonomi bahwa begitu mahalnya pemerintah “membayar” untuk mewujudkan sekaligus membangun sebuah kualitas pendidikan. Menyadari akan hal itu, maka sewajarnyalah setiap elemen bangsa mengawal dan mewujudkan ujian nasional bermartabat dan berkualitas sekarang ini secara sadar. Karena bagaimanapun untuk membangun pendidikan dan bangsa yang berkualitas tentu harus terbangun dari proses-proses yang berkualitas pula. Adalah sebuah ironi besar apabila masyarkat mengharapankan pendidikan yang berkualitas sementara komponen-komponen proses tidak dibangun di atas dasar-dasar yang berkualitas. Maka dari itu, pelaksanaan ujian nasional sekarang ini harus dilakukan dengan cara-cara yang berkualitas dan berlandaskan niat dan motivasi yang berkualitas pula.
   Tidak bisa dipungkiri dan dinafikan bahwa rendahnya kualitas pendidikkan dan kualitas bangsa ini sesungguhnya disebabkan oleh rendahnya kualitas proses evaluasi yang dilakuan selama ini. Hal ini dibuktikan oleh beberapa fakta kecurangan dan manipulasi pada saat ujian nasional berlangsung. Walaupun kecurangan dalam ujian nasional tersebut diklime bersifat kasuistis akan tetapi hal tersebut sesungguhnya merupakan peristiwa gunung es. Disadari ataupun tidak, pelaksanaan ujian nasional (UN) bangsa ini masih sangat jauh dari aspek-aspek profesional dan  kualitas mutu yang diharapan. Tidak seperti bangsa-bangsa lain yang berani menempatkan ujin nasional (UN) sebagai kebutuhan, kehormatan, dan tujuan bersama dari setiap lapisan masyarakat. Oleh sebab itulah pelaksanaan ujian atau evaluasi di beberapa negara maju berjalan secara profesional serta murni demi mewujudkan dan membangun suatu proses pendidikan manusia yang berkualitas. Lain halnya dengan pelaksanaan ujian nasional di negeri ini yang selalu dirundung masalah setiap pelaksanaanya. Mulai dari masalah alokasi anggaran, politisasi pelaksanaan UN ditingkat Dinas dan sekolah, politisasi anggaran pencetakan soal dan lembar jawaban, distribusi soal, pembocoran soal oleh oknum guru, kecurangan oleh oknum panitia ujian ditingkat rayon dan Dinas sampai pada persoalan stress dan beban psikologi yang dialami oleh peserta didik dalam menghadapi ujian. Ironisnya persoalan-persoalan ini bak banjir tahunan artinya terjadi secara rutin di setiap pelaksanaan ujian nasional tanpa ada perbaikan yang signifikan. Selain itu, pelaksanaan UN khususnya di beberapa daerah terkesan terjebak pada pola pikir dan budaya  instan, hal ini bisa dilihat dari pola dan proses persiapan ujian nasional yang dilakukan oleh hampir seluruh sekolah di negeri ini yang cenderung anti proses. Di provensi NTB misalnya, euforia persiapan menjelang UN sangat luar biasa, bahkan kalau ditinjau secara kritis justru memiliki dampak negatif sekaligus mencerminkan kelemahan pola pendidikan yang dilakukan selama ini. Sebagai contoh, untuk meraih kelulusan 100% baik secara kuantitas maupun kualitas, pemerintah dan sekolah melakukan pembentukan panitia kelulusan UN secara khusus, di tangan tim inilah selanjutnya persipan-persiapan UN dilakukan. Bahkan tim yang dibentuk ini tidak hanya bertugas mempersiapkan kegiatan UN semata tetapi juga bertugas “menghantarkan” siswa agar bisa lulus dengan nilai terbaik. Disinilah, terlihat jelas bahwa pelaksanaan UN sesunggunya tidak lagi murni mewujudkan dan membangun suatu kualitas pendidikan, akan tetapi telah ditumpangin oleh kepentingan dan motivasi pencitraan demi mengejar popularitas sekolah dan nama baik pemerintah atau popularitas segelintir orang. Untuk itulah patut kita bertanya, sesungguhnya Ujian Nasional (UN) ini untuk apa dan demi siapa? Di sinilah pertaruhan moral bagi para guru dan pemangku pendidik di dalam melaksanakan UN tersebut.
 Selain itu, persiapan UN yang dilakukan oleh beberapa sekolah akhir-kahir ini terkesan instan dan “kejar storan” lulus 100%. Misalnya, melakukan try out berlapis, bimbel kali-kali, menambah jam pada mata pelajaran yang diUNkan, bahkan menginapkan siswa di sekolah. Semua persiapan ini sesungguhnya tidaklah salah justru harus dilakukan karena bagaimanapun bentuk persiapan di atas merupakan bagian dari pendidikan dan pengajaran. Akan tetapi, menjadi keliru ketika semua itu dilakukan hanya di saat  menjelang UN, sejatinya semua persiapan tersebut tidak hanya dilakukan untuk menghadapi dan memenuhi kebutuhan ujian nasional semata. Sebab kalau persiapan tersebut sekedar hanya untuk kebutuhan UN, justru sekolah dan pemerintah sedang membudidayakan budaya instan dalam logika dan lingkungan pendidikan. Artinya, tidak ada UN maka tidak ada belajar, tidak ada UN maka tidak ada try out, bimbel, dan seterusnya. Bahkan tidak ada UN maka tidak ada keseriusan semua pihak untuk memperhatikan persoalan mutu dan kualitas, yang selama ini mutu diurus “sambi lalu” tanpa mengerahkan segala potensi dan perhatian seperti yang terjadi pada saat menjelang UN. Jika semua itu dilakukan semata-mata sekedar memenuhi kebutuhan UN maka sesungguhnya hanya memperkokoh prilaku-prilaku instan dan cepat saji. Padahal semua guru sadar bahwa pendidikan yang sejati adalah mambangun dan menyusun bata-bata budaya dan peradaban yang berkualitas dan bernilai. Guru juga tahu bahwa pendidikan adalah suatu proses itu sendiri sehingga membangun kualitas dan mutu pendidikan adalah mengikuti proses yang cukup panjang. Oleh karena itu, cukuplah ironis jika seorang mau meraih kualitas pendidikan yang maksimal tanpa memenuhi dan memperhatikan aspek prosesnya.
Ujian nasional (UN), sejatinya adalah pertaruhan moral bagi para guru dan pemangku pendidikan lain dalam mewujudkn mengawal pelaksanaan UN yang lebih mertabat. Karena bagaimanapun ujian nasional merupakan perbuatan dan tanggung jawab kolektive yang terencana. Sehingga untuk menjaga mutu dari pelaksanaan ujian nasional sangat tergantung pada seberapa jauh guru melibatkan aspek moral di dalam melaksanakan ujian nasional tersebut. Oleh karena UN adalah pekerjaan bersama antara beberapa elemen terkait maka UN menjadi tanggung jawab moral kolektiv dan dilakukan atas dasar kejujuran kolektiv pula. Walaupun UN merupakan tanggung jawab bersama semua pihak pemangku pendidikan, baik dinas setempat, sekolah, pihak independen, maupun sub-sub rayon bukan berarti UN juga harus “diselamatkan rame-rame” demi meraih prestasi dan popularitas tanpa mempertimbangkan moral dan kata hati nurani. 

 Penulis adalah Dosen IAIN Mataram sekaligus Pemerhati Pendidkan

Minggu, 18 Maret 2012

PERGURUAN TINGGI JANGAN HANYA MENCETAK SARJANA

OLEH; ABDUL MALIK, M.Ag., M.Pd

            Akhir-akhir ini publik NTB dan dunia akademisi dikejutkan oleh kasus oknum “dosen palsu” yang dilaporkan oleh sejumlah mahasiswa ke polisi lantaran melakukan penipuan berkedok jasa pembuatan skripsi. Fenomena tersebut sebenarnya fenomena yang tidak asing dan klasik di dunia Perguruan Tinggi atau akademis manapun. Plagiarisme adalah salah satu penyakit akademis yang belum disoroti secara serius oleh pemerintah sampai sekarang ini. Oleh sebab itu, para penikmat plagiat tersebut semakin tumbuh subur di dunia akademis. Kasus yang terjadi di salah satu Perguruan Tinggi di Mataram tersebut merupakan peristiwa gunung es yang melanda dunia Perguruan Tinggi di NTB sekarang ini yang sulit dipungkiri keberadaannya, oleh karena itu sejatinya pemerintah, Perguruan Tinggi, dan masyarakat (pengguna atau pemakai PT) seharusnya mengambil peran aktif untuk mewujudkan akademisi dan PT (Perguruan Tinggi) yang bebas dari budaya plagiarisme sekaligus  malapraktek pendidikan lainnya.
            Dewasa ini, menjamurnya kasus plagiarisme dikalangan mahasiswa dan dosen serta terjadinya malapraktek pendidikan dalam berbagai modus sesungguhnya bukan semata-mata kesalahan dari mahasiswa itu sendiri akan tetapi juga banyak kelemahan-kelemahan dari PT (Perguruan Tinggi) itu sendiri yang secara tidak langsung ataupun langsung membuka peluang terciptanya perilaku plagiarisme dan malapraktek pendidikan itu sendiri. Di antara kelemahan atau lebih tepatnya disebut sebagai “permasalahan” yang dihadapai oleh hampir semua Perguruan Tinggi sekarang ini adalah terjadinya pergeseran sekaligus distorsi fungsi dan tujuan dari Perguruan Tinggi itu sendiri. Hampir semua Perguruan Tinggi sekarang ini lebih berfungsi sebagai perusahaan yang memproduksi ijazah, nilai, gelar, dan “sarjana-sarjanaan”. Tidak heran kemudian, lembaga pendidikan menjelma mejadi mesin kapitalis, yaitu mesin untuk mencari keuntungan semata. Kapitalisme menjadikan pendidikan serta pengetahuan yang dihasilkan di dalamnya sebagai komoditi dalam rangka mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Padahal ketika merkantilisme pengetahuan dan kapitalisme menjadi fondasi dari institusi pendidikan, maka berbagai bentuk wacana komersial dan komodifikasi di cangkokkan ke dalam lembaga pendidikan sebagi alat untuk mencari keuntungan,  sehingga tanpa disadari tugas dan fungsi PT (Perguruan Tinggi) atau lembaga pendidikanpun telah sedang mengalami distorsi dari makna yang sesungguhnya.
Sekedar untuk mengingatkan kembali, bahwa kapitalisme adalah sebuah sistem ekonomi yang dibangun berdasarkan sebuah keyakinan laisssez faire, yang memberikan kepercayaan penuh pada mekanisme pasar dalam menentukan arah pertumbuhan ekonomi (Baca: Pasar bebas). Salah satu bentuk utama dari mekanisme pasar adalah mempertahankan agar pertumbuhan tetap berlangsung, oleh karena itu di satu pihak, industri harus tetap memproduksi dan di lain pihak masyarakat harus tetap mengkonsumsi. Oleh karena itu, dalam konteks ini suatu Perguruan Tinggi (PT) atau lembaga pendidikan harus tetap mewisudakan atau mencetak sarjana dengan cara apapun yang penting hasrat-hasrat masyarakat untuk meraih gelar sarjana tetap terpenuhi disamping meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Dunia pendidikan yang terperangkap di dalam mekanisme pasar, kemudian menjadikan prinsip-prinsip pasar sebagai prinsip dasar lembaga pendidikan tersebut maka dengan sendirinya tugas-tugas pokok lembaga pendidikan (Perguruan Tinggi) yang hakiki menjadi pudar bersama mesin-mesin kapitalis sejati untuk selamanya.
            Kondisi di atas menjadi semakin mapan ketika masyarakat kurang memiliki daya kontrol dan kritis terhadap peran Perguruan Tinggi atau lembaga pendidikan dalam mencetak manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa. Selain itu juga, masyarakat sebagai pengguna (user) sejatinya lebih selektif terhadap mutu Perguruan Tinggi yang ada, bukan justru “memanfaatkan” permasalahan Perguruan Tinggi tersebut sebagai peluang atau “jalan lurus” dan “mudah” untuk mendapatkan nilai, ijazah, dan wisudah secara prematur. Harus diakui, bahwa selama ini antara PT (Perguruan Tinggi) dan sebagian masyarakat terkesan memiliki bubungan mutalisme simbiosis dalam arti negatif, satu sisi Perguruan Tinggi atau lembaga pendidikan mencari keuntungan sebesar-besarnya sementara di sisi lain masyarakat menginginkan pendidikan yang cepat saji. Meningkatnya pemintaan gelar dan ijazah oleh masyarakat berdampak pula pada menjamurnya lembaga pendidikan yang menawarkan gelar dan ijazah tersebut dengan layanan mudah dan instan. Tidak heran kemudian sudah berapa banyak kasus ijazah palsu para pejabat akademis, dan politis yang terungkap selama ini.  Fenomena jual beli ijazah menurut Ronal Dore merupakan salah satu betuk the diploma diseases (penyakit ijazah), lazimnya penyakit ini tumbuh subur pada masyarakat kredensial (crdentials). Menurut Rendall Collin (1979), masyarakat kredensial adalah masyarakat yang menganggap bahwa ijazah salah satu yang penting  dalam usaha untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi, baik dalam lembaga sosial, politik, maupun lembaga pendidikan (Kompas, 15 Maret 2012). Hubungan berklindan antara masyarakat kredensial dengan Perguruan Tinggi berjiwa kapitalis ini, sesungguhnya semakin menjauhkan lembaga pendidikan atau Perguruan Tinggi (PT) dari tugas dan tanggung jawab pokok yang seharusnya diemban oleh semua lembaga pendidikan yang ada.
            Sejatinya, Perguruan Tinggi hadir bukan sekedar sebagai pajangan (pencitraan) dan mencari keuntungan semata-mata, melainkan bersama-sama dengan masyarakat menjadikan tata kehidupan yang lebih baik. Itulah mengapa, dalam salah satu tridarma perguruan tinggi ada pengabdian masyarakat (bukan pengabdian dalam arti sempit seperti pemahaman selama ini) akan tetapi dalam makan mutualisme simbiosis positif yang lebih holistik dan sistemik. Kemampuan PT (Perguruan Tinggi) membangun hubungan mutualisme simbiosis dengan masyarakat tersebut, menjadikan PT (Perguruan Tinggi) lebih bermakna dan bermanfaat bagi ummat manusia. Menurut Prof.Dr.Ir Dadan Umar D. DEA, Guru Besar Universitas Trisakti bahwa sebuah PT (Perguruan Tinggi) itu dipandang kalau memiliki buah pikiran, gagasan, dan pengembangan keilmuan yang dilakukannya untuk masyarakat luas. Pertanyaan mendasarnya adalah apa dan berapa buah pikir dan gagasan yang pernah dimunculkan oleh Perguruan Tinggi di NTB selama ini untuk kemasalahatan ummat ? Di Negera Prancis misalnya, ketika ada kereta cepat yang tergelincir, atau kecelakaan lainnya yang menyangkut kepentingan publik, pemerintah dan masyarkat betul-betul menyimak apa penjelasan dan kajian ilmuwan tentang kejadian tersebut. Perguruan Tinggi (Universitas) menjadi rujukan karena meyakini bahwa pembangunan kereta cepat benar-benar berdasarkan kajian imiah. Hal ini sungguh jauh berbeda dengan kondisi Perguruan Tinggi atau universitas yang ada di Indonesia. Peran Perguruan Tinggi terkesan hanya mencatak sarjana dan mengumpulkan keuntungan sebanyak-banyaknya, sementara banyak persoalan maha penting yang menyangkut hajat hidup masyarakat luas jutsru diselesaikan dengan politisi. Sehingga wajar, ketika banyak persoalan di negeri ini tidak kunjung selesai dan kalaupun selesai pasti menyisahkan masalah-masalah baru. Kondisi tersebut merupakan cerminan betapa Perguruan Tinggi sekarang ini  tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, kedepan  Perguruan Tinggi harus kembali kepada tugas dan fungsi pokonya seperti yang ditekankan dalam tridarma Perguruan Tinggi itu sendiri. Perguruan Tinggi harus terus berbenah dan mengembangkan diri sesuai dengan perkembangan jaman tanpa henti. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan kerja sama ataupun memperluas jaringan dalam berbagai bidang baik lokal maupu global dengan Perguruan Tinggi, perusahaan, pemerintah, dan masyarakat. Selain itu, kedepan Perguruan Tinggi harus serius dan berani menghidupkan budaya riset dan publikasi ilmiah dalam Perguruan Tinggi itu sendiri. Jika Perguruan Tinggi mampu melakukan tigal hal di atas dengan profesional dan konsisten maka akan terwujud Perguruan Tinggi yang berkualitas sekaligus berwibawa. Suatu Perguruan Tinggi itu apabila sudah menjadi lembaga pendidikan yang berkualitas, kredibel, dan berwibawa maka akan berdampak pada pencintraan postif di masyarakat. Serta berdampak pula pada kualitas dosen, kualitas tata kelola, serta kualitas output dan outcomenya. Kalau semua elemen Perguruan Tinggi mulai dari mahasiswa sampai rektornya mendukung terciptanya kondisi di atas maka segala penyakit dan malapraktek yang terjadi pada dunia Peguruan Tinggi akan dapat teratasi dengan baik. Riset, jaringan luas, publikasi ilmiah, dan dukungan masyarakat dan pemerintah menjadi modal untuk menjadi Perguruan Tinggi berkualitas dan berwibawa. Akhirnya, memang sejatinya Perguruan Tinggi tidak hanya mencetak sarajana, akan tetapi jauh lebih luas dan mulia dari pada itu, yakni menjadi tiang dari kemajuan peradaban manusia, hingga pada saatnya nanti masyarakat merasa beruntung memiliki Perguruan Tinggi di sekitarnya karena pada awalnya masyarakat dan Perguruan Tinggi tersebut telah terbangun hubungan yang baik .   
Penulis adalah Dosen IAIN Mataram sekaligus Pemerhati Pendidikan