Oleh ; Abdul Malik, M.Ag., M.Pd
“ McDonaldisasi tidak saja mempengaruhi bisnis restoran,
akan tetapi juga pendidikan, kerja, perwatan kesehatan, travel, waktu senggang,
makanan, politik, keluarga, bahkan setiap aspek kehidupan
(George
Ritzer; The McDonaldiztion of Society)
Budaya instan yang dimaksud dalam
tulisan ini adalah tradisi baru yang dihasilkan oleh menggelobalnya dunia saat
ini. Pada awalnya masyarakat Timur dalam hal ini Indonesia sangat meyakini
bahwa kehidupanya masih dikeliling oleh nilai-nilai luhur (local wisdom) yang
selalu memberikan makna, sekaligus meraih kehidupan yang lebih nature dan menentramkan. Akan tetapi
tanpa disadari kehidupan terus bergeser secara perlahan tapi pasti sehingga
tidak terasa “nilai-nilai” atau kapital sosial lokalpun mengalami pergeseran
bahkan punah dilindas oleh budaya global (globalisasi) yang berwajah paradoks
tersebut.
Paradoks globalisasi tercipta sebagai akibat
hadirnya secara bersamaan dan di dalam ruang-waktu yang sama- dua sifat yang
saling bertentangan satu sama lain secara kontradiktif. Di satu sisi pola
kehidupan sosial kultur sehari-sehari masyarakat akhir ini memperlihatkan
berbagai pengaruh yang amat kuat dari apa yang disebut sebagai pola-pola
kehidupan masyarakat global (global
society) dan budaya global (global
culture). Baik lewat berbagai teknologi (teknologi informasi,
telekomunikasi, televisi, dan internet), maupun lewat berbagai produknya
seperti barang, tontonan, dan hiburan. Budaya global tersebut terus menyebarkan
dan memperkokoh pengaruhnya terhadap masyarakat, sehingga masuk pada setiap
lini kehidupan, baik ruang publik (kampus, pasar, sekolah, masjid, kelas,kantor,
dll) maupun ruang privat (dapur, kamar mandi, rumah pribadi, ruang belajar
anak, ruang ibadah, dll). Sampai pada satu titik setiap orang menerima berbagai
perubahan cara hidup, gaya hidup, dan bahkan pandangan hidup (world View).(Piliang;2004.207). Sementara
di sisi lain Perubahan maha dahsyat ini
sekalipun halus, telah memudarkan eksistensi bentuk nilai-nilai, adat,
kebiasaan, identitas, dan simbol-simbol luhur yang telah dimiliki selama ini.
Tapi ironisnya sangat sedikit para pemangku pendidikan baik itu instansi terkait
maupun para pendidik dan pengajar risau akan hal ini.
Adalah fakta hari ini, bagaimana di
sekolah dan kampus yang nota benenya adalah wadah untuk mengembangkan
nilai-nilai fundamental manusia menjadi sangat rapuh seakan tidak berperan
apa-apa. Bagaimana tidak, nilai-nilai kejujuran, integritas, kepatuhan, ketaatan,
rasa hormat, kedisiplinan, keikhlasan dan kesabaran menjadi barang langka dalam
pribadi peserta didik saat ini. Oleh karena itu, tidak heran, kalau ditemukan
peserta didik menikmati kebiasaan berbohong, peserta didik yang kehilangan rasa
hormat pada guru, dosen, dan pada orang tua,
peserta didik yang mengalami split
personality. Tidak heran kemudian, kenapa nilai –nilai yang diajarkan dalam kelas
seperti kejujuran, integritas, kepatuhan, ketaatan, kedisiplinan, keikhlasan
dan kesabaran tidak membawa dampak diluar kelas. Al hasil tidak heran kenapa
peserta didik sulit untuk memiliki karakter yang positif dan kuat. Semuanya
tergantikan oleh budaya pop-budaya global yakni budaya yang mengutamakan simbol
dari pada subtansi, mengutamakan gaya hidup dari pada hakekat hidup, budaya
yang lebih mengutamakan logika instan dari pada logika proses.
Akhirnya dengan budaya global yang
melahirkan masyarakat terbuka (open society) mememinjam istilah Karl Popper,
memperlihatkan bagaimana aspek pendidikan sekarang ini sedang menghadapi
tantangan dan masalah yang besar. Faktanya, bagaimana peserta didik diajarkan
tentang segala nilai kebaikan di sekolah misalnya, akan tetapi diluar kelas mereka terjebak pada
prilaku instan, tawuran, free sex dan obat-obat terlarang. Tidak
hanya itu, bahwa semakin lunturnya nilai-nilai prinsipil dalam kehidupan peserta
didik maka sudah semakin nyata dan terasa akan dampak untuk generasi kedepannya.
Oleh sebab itu, fenomena permissivenes atau pengabaian nilai-nilai prinsipil
dalam kehidupan manusia modern sudah semakin kuat eksistensinya. Sehingga
kemudian yang diperlukan saat ini adalah membawa sekolah dan pendidikan ke arah
penguatan nilai-nilai prinsipil, lebih khusus lagi nilai-nilai agama. Pada
akhirnya lulusan atau output dari
lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah tidak sekedar “tersekolahkan” tetapi
juga terdidik.
Harus diakui bahwa proses
pendidikan yang berlangsung dewasa ini,
baik di sekolah mapun di PT (perguruan tinggi) lebih menekankan kepada aspek
pengajaran pengetahuan berbasis kognitif semata. Oleh karena itu yang terjadi
dalam proses pendidikan dalam kelas adalah perpindahan pengetahuan dari guru ke
murid bukan perpidahan sikap yang berbasisi pada perubahan prilaku peserta
didik. Sehingga pada kenyataan sekarang ini pelaku koruptor dan kejahatan
lainya adalah kebanyakan orang-orang yang berilmu dan cerdas pada ranah otaknya
akan tetapi miskin pada ranah spiriual dan emosinya. Oleh sebab itu, sekolah
kedepan tidak hanya menekankan pada aspek pengajaran semata akan tetapi juga pada
aspek pendidikan yang merupakan basis pembelajaran perubahan perilaku.
Pertautan antara budaya Instan dengan Pendidikan
Begitu pula dengan membuminya
budaya instan dikalangan masyarakat, justru mendorong dan mempengaruhi
lingkungan pendidikan itu sendiri. Pada kenyataannya budaya instan tidak
berhenti pada logika semata tetapi menjelama kedalam kehidupan nyata. Misalnya,
bagaimana peserta didik mulai dari tingkat SD sampai PT lebih senang belajar
pada saat ujian atau belajar pada saat mendesak, bagaimana peserta didik lebih
senang nyontek dari pada cerdas belajar mandiri, dan bagaimana peserta didik
lebih cerdas meng-copy paste dari pada
cerdas berkarya. Kemudian bagaimana banyaknya para calon (oknum) pendidik
(guru) yang memilih cari ilmu dengan cara “kuliah loncat pagar” dibandingkan
dengan mengikuti proses yang lazim dilakukan. Artinya masuk kuliah semester I
(satu) tiba-tiba enam bulan kemudian masuk semester V (lima), kemudian masuk
kuliah semester VI (enam) tiba-tiba wisuda beberapa bulan kemudian. Selain itu,
adanya layanan kuliah jarak jauh (selain UT), kampus dua, dan layanan kelas
sabtu minggu merupakan peluang tersendiri bagi oknum-oknum tertentu untuk
meraih pendidikan yang lebih mudah dan cepat
dengan menafikan kualitas yang seharusnya menjadi prasyarat. Kemudian
berkaitan dengan jual beli ijazah, jual beli nilai, plagiat skripsi, dan jual
beli gelar. Semuanya merupakan cerminan dari
budaya Instan yang nyata yang terus melilit dunia pendidikan hari ini.
Ironisnya semua kasus di atas, belum diselesaikan secara tuntas oleh pihak
terkait dan justru terkesan malah terjadi “pembiaran”. Terlepas dari itu semua,
yang pasti pendidikan di Indonesia pada umunya dan NTB khusunya telah terlalu
dalam terjebak pada budaya instan yang terjadi selama ini. Walaupun budaya
instan dalam pendidikan ini terlihat sebagai gunung es di mana hanya permukaannya yang
kelihatan.
Belajar di institut pendidikan
formal maupun nonformal pada hakekatnya adalah proses untuk medapatkan ilmu
pengetahuan (teori), pendewasaan diri (pembinaan kepribadian), kematangan
berkomunikasai dan memiliki integritas yang tinggi. Sebagai proses, ukuran
keberhasilan bukan produk akhirnya saja, tetapi juga indikator prosesnya.
Belajar yang hanya bertujuan untuk mendapatkan nilai, status sosial, ijasah,
atau gelar sesungguhnya justru mereduksi makna belajar itu sendiri
(Darmaningtyas.2005;214). Jika setiap calon pendidik dalam hal ini adalah guru
memiliki kecenderung dan terjebak pada budaya simbol seperti diatas maka proses
pendidikan dan pengajaran akan mengalami “kekosongan”. Bukti dari “kekosongan”
itu adalah adanya siklus yang terpotong dari proses pembelajaran dan pendidikan
selama ini sehingga lahirlah generasi pop, generasi yang tidak berkarakter, dan
generasi instan sekarang ini. Budaya instan dalam pendidikan ini selain
merugikan peserta didik itu sendiri juga merugikan masa depan bangsa dan
merusak atmosfir serta kualiatas pendidikan yang ada.
Paparan diatas, merupakan salah
satu jawaban terhadap gagalnya pola pendidikan yang berlaku hari ini. Artinya
budaya global hari ini telah mengambil peran terhadap pembentukan karakter dan
perkembangan peserta didik secara besar-besaran. Pembentukan karakter peserta
didik oleh budaya global saat ini berlangsung secara cepat dan halus sehingga
mengalahkan nasihat-nasihat para guru dan orang tua. Oleh sebab itu, langkah
yang bijak adalah para pemangku pendidikan baik itu instansi terkait (pemerintah)
maupun sekolah dan PT harus segera merubah paradigama mengajar dan mendidiknya
secara sistemik dan holistik. Sehingga terjadi revitalisasi pendidikan yang
melibatkan semua elemen dasar pendidikan seperti pemerintah,sekolah,
masyarakat, dan keluarga. Tanpa keterlibatan elemen dasar di atas, pendidikan
kedepan tidak akan berdampak, bermakna, dan tidak mampu mewujudkan pendidikan
yang berdampak pada pengalaman bagi peserta didiknya. Sehingga dengan demikian
merubah paradigma pendidikan adalah awal untuk merubah budaya pendidikan itu
sendiri. Allahu a’lam.
Penulis adalah Staf Pengajar IAIN dan Pemerhati Pendidikan sekaligus
pengasuh Alamtara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar