Kamis, 15 Maret 2012

BUDAYA INSTAN DALAM PENDIDIKAN

Oleh ; Abdul Malik, M.Ag., M.Pd

“ McDonaldisasi tidak saja mempengaruhi bisnis restoran, akan tetapi juga pendidikan, kerja, perwatan kesehatan, travel, waktu senggang, makanan, politik, keluarga, bahkan setiap aspek kehidupan
(George Ritzer; The McDonaldiztion of Society)
Budaya instan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah tradisi baru yang dihasilkan oleh menggelobalnya dunia saat ini. Pada awalnya masyarakat Timur dalam hal ini Indonesia sangat meyakini bahwa kehidupanya masih dikeliling oleh nilai-nilai luhur (local wisdom) yang selalu memberikan makna, sekaligus meraih kehidupan yang lebih nature dan menentramkan. Akan tetapi tanpa disadari kehidupan terus bergeser secara perlahan tapi pasti sehingga tidak terasa “nilai-nilai” atau kapital sosial lokalpun mengalami pergeseran bahkan punah dilindas oleh budaya global (globalisasi) yang berwajah paradoks tersebut.
 Paradoks globalisasi tercipta sebagai akibat hadirnya secara bersamaan dan di dalam ruang-waktu yang sama- dua sifat yang saling bertentangan satu sama lain secara kontradiktif. Di satu sisi pola kehidupan sosial kultur sehari-sehari masyarakat akhir ini memperlihatkan berbagai pengaruh yang amat kuat dari apa yang disebut sebagai pola-pola kehidupan masyarakat global (global society) dan budaya global (global culture). Baik lewat berbagai teknologi (teknologi informasi, telekomunikasi, televisi, dan internet), maupun lewat berbagai produknya seperti barang, tontonan, dan hiburan. Budaya global tersebut terus menyebarkan dan memperkokoh pengaruhnya terhadap masyarakat, sehingga masuk pada setiap lini kehidupan, baik ruang publik (kampus, pasar, sekolah, masjid, kelas,kantor, dll) maupun ruang privat (dapur, kamar mandi, rumah pribadi, ruang belajar anak, ruang ibadah, dll). Sampai pada satu titik setiap orang menerima berbagai perubahan cara hidup, gaya hidup, dan bahkan pandangan hidup (world View).(Piliang;2004.207). Sementara di sisi lain  Perubahan maha dahsyat ini sekalipun halus, telah memudarkan eksistensi bentuk nilai-nilai, adat, kebiasaan, identitas, dan simbol-simbol luhur yang telah dimiliki selama ini. Tapi ironisnya sangat sedikit para pemangku pendidikan baik itu instansi terkait maupun para pendidik dan pengajar risau akan hal ini.
Adalah fakta hari ini, bagaimana di sekolah dan kampus yang nota benenya adalah wadah untuk mengembangkan nilai-nilai fundamental manusia menjadi sangat rapuh seakan tidak berperan apa-apa. Bagaimana tidak, nilai-nilai kejujuran, integritas, kepatuhan, ketaatan, rasa hormat, kedisiplinan, keikhlasan dan kesabaran menjadi barang langka dalam pribadi peserta didik saat ini. Oleh karena itu, tidak heran, kalau ditemukan peserta didik menikmati kebiasaan berbohong, peserta didik yang kehilangan rasa hormat pada guru, dosen, dan pada orang tua,  peserta didik yang mengalami split personality. Tidak  heran kemudian,  kenapa nilai –nilai yang diajarkan dalam kelas seperti kejujuran, integritas, kepatuhan, ketaatan, kedisiplinan, keikhlasan dan kesabaran tidak membawa dampak diluar kelas. Al hasil tidak heran kenapa peserta didik sulit untuk memiliki karakter yang positif dan kuat. Semuanya tergantikan oleh budaya pop-budaya global yakni budaya yang mengutamakan simbol dari pada subtansi, mengutamakan gaya hidup dari pada hakekat hidup, budaya yang lebih mengutamakan logika instan dari pada logika proses.  
Akhirnya dengan budaya global yang melahirkan masyarakat terbuka (open society) mememinjam istilah Karl Popper, memperlihatkan bagaimana aspek pendidikan sekarang ini sedang menghadapi tantangan dan masalah yang besar. Faktanya, bagaimana peserta didik diajarkan tentang segala nilai kebaikan di sekolah misalnya,  akan tetapi diluar kelas mereka terjebak pada prilaku  instan, tawuran, free sex dan obat-obat terlarang. Tidak hanya itu, bahwa semakin lunturnya nilai-nilai prinsipil dalam kehidupan peserta didik maka sudah semakin nyata dan terasa akan dampak untuk generasi kedepannya. Oleh sebab itu, fenomena permissivenes atau pengabaian nilai-nilai prinsipil dalam kehidupan manusia modern sudah semakin kuat eksistensinya. Sehingga kemudian yang diperlukan saat ini adalah membawa sekolah dan pendidikan ke arah penguatan nilai-nilai prinsipil, lebih khusus lagi nilai-nilai agama. Pada akhirnya lulusan atau output dari lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah tidak sekedar “tersekolahkan” tetapi juga terdidik.
Harus diakui bahwa proses pendidikan  yang berlangsung dewasa ini, baik di sekolah mapun di PT (perguruan tinggi) lebih menekankan kepada aspek pengajaran pengetahuan berbasis kognitif semata. Oleh karena itu yang terjadi dalam proses pendidikan dalam kelas adalah perpindahan pengetahuan dari guru ke murid bukan perpidahan sikap yang berbasisi pada perubahan prilaku peserta didik. Sehingga pada kenyataan sekarang ini pelaku koruptor dan kejahatan lainya adalah kebanyakan orang-orang yang berilmu dan cerdas pada ranah otaknya akan tetapi miskin pada ranah spiriual dan emosinya. Oleh sebab itu, sekolah kedepan tidak hanya menekankan pada aspek pengajaran semata akan tetapi juga pada aspek pendidikan yang merupakan basis pembelajaran perubahan perilaku.        
Pertautan antara budaya Instan dengan Pendidikan   
Begitu pula dengan membuminya budaya instan dikalangan masyarakat, justru mendorong dan mempengaruhi lingkungan pendidikan itu sendiri. Pada kenyataannya budaya instan tidak berhenti pada logika semata tetapi menjelama kedalam kehidupan nyata. Misalnya, bagaimana peserta didik mulai dari tingkat SD sampai PT lebih senang belajar pada saat ujian atau belajar pada saat mendesak, bagaimana peserta didik lebih senang nyontek dari pada cerdas belajar mandiri, dan bagaimana peserta didik lebih cerdas meng-copy paste dari pada cerdas berkarya. Kemudian bagaimana banyaknya para calon (oknum) pendidik (guru) yang memilih cari ilmu dengan cara “kuliah loncat pagar” dibandingkan dengan mengikuti proses yang lazim dilakukan. Artinya masuk kuliah semester I (satu) tiba-tiba enam bulan kemudian masuk semester V (lima), kemudian masuk kuliah semester VI (enam) tiba-tiba wisuda beberapa bulan kemudian. Selain itu, adanya layanan kuliah jarak jauh (selain UT), kampus dua, dan layanan kelas sabtu minggu merupakan peluang tersendiri bagi oknum-oknum tertentu untuk meraih pendidikan yang lebih mudah dan cepat  dengan menafikan kualitas yang seharusnya menjadi prasyarat. Kemudian berkaitan dengan jual beli ijazah, jual beli nilai, plagiat skripsi, dan jual beli gelar. Semuanya merupakan cerminan dari budaya Instan yang nyata yang terus melilit dunia pendidikan hari ini. Ironisnya semua kasus di atas, belum diselesaikan secara tuntas oleh pihak terkait dan justru terkesan malah terjadi “pembiaran”. Terlepas dari itu semua, yang pasti pendidikan di Indonesia pada umunya dan NTB khusunya telah terlalu dalam terjebak pada budaya instan yang terjadi selama ini. Walaupun budaya instan dalam pendidikan ini terlihat sebagai gunung es  di mana hanya permukaannya yang kelihatan. 
Belajar di institut pendidikan formal maupun nonformal pada hakekatnya adalah proses untuk medapatkan ilmu pengetahuan (teori), pendewasaan diri (pembinaan kepribadian), kematangan berkomunikasai dan memiliki integritas yang tinggi. Sebagai proses, ukuran keberhasilan bukan produk akhirnya saja, tetapi juga indikator prosesnya. Belajar yang hanya bertujuan untuk mendapatkan nilai, status sosial, ijasah, atau gelar sesungguhnya justru mereduksi makna belajar itu sendiri (Darmaningtyas.2005;214). Jika setiap calon pendidik dalam hal ini adalah guru memiliki kecenderung dan terjebak pada budaya simbol seperti diatas maka proses pendidikan dan pengajaran akan mengalami “kekosongan”. Bukti dari “kekosongan” itu adalah adanya siklus yang terpotong dari proses pembelajaran dan pendidikan selama ini sehingga lahirlah generasi pop, generasi yang tidak berkarakter, dan generasi instan sekarang ini. Budaya instan dalam pendidikan ini selain merugikan peserta didik itu sendiri juga merugikan masa depan bangsa dan merusak atmosfir serta kualiatas pendidikan yang ada.                 
Paparan diatas, merupakan salah satu jawaban terhadap gagalnya pola pendidikan yang berlaku hari ini. Artinya budaya global hari ini telah mengambil peran terhadap pembentukan karakter dan perkembangan peserta didik secara besar-besaran. Pembentukan karakter peserta didik oleh budaya global saat ini berlangsung secara cepat dan halus sehingga mengalahkan nasihat-nasihat para guru dan orang tua. Oleh sebab itu, langkah yang bijak adalah para pemangku pendidikan baik itu instansi terkait (pemerintah) maupun sekolah dan PT harus segera merubah paradigama mengajar dan mendidiknya secara sistemik dan holistik. Sehingga terjadi revitalisasi pendidikan yang melibatkan semua elemen dasar pendidikan seperti pemerintah,sekolah, masyarakat, dan keluarga. Tanpa keterlibatan elemen dasar di atas, pendidikan kedepan tidak akan berdampak, bermakna, dan tidak mampu mewujudkan pendidikan yang berdampak pada pengalaman bagi peserta didiknya. Sehingga dengan demikian merubah paradigma pendidikan adalah awal untuk merubah budaya pendidikan itu sendiri. Allahu  a’lam. 
Penulis adalah Staf Pengajar IAIN dan Pemerhati Pendidikan sekaligus pengasuh Alamtara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar