Oleh:
Abdul Malik
Pendidikan
merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan di setiap negara. Menurut
Undang-Undang No. 20 Tahun 2004 pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana
untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses
pembelajaran. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak agar
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian,
memiliki kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang
diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Untuk mencapai tujuan
pendidikan yang mulia ini disusunlah kurikulum yang merupakan seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan dan metode pembelajaran.
Kurikulum digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan yangbtelah ditentukan. Untuk melihat tingkat
pencapaian tujuan pendidikan, diperlukan suatu bentuk evaluasi.Dengan demikian
evaluasi pendidikan merupakan salah satu komponen utama yang tidak dapat
dipisahkan dari rencana pendidikan. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua
bentuk evaluasi dapat dipakai untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan yang
telah ditentukan. Informasi tentang tingkat keberhasilan pendidikan akan dapat
dilihat apabila alat evaluasi yang digunakan sesuai dan dapat mengukur setiap
tujuan.
Terlepas dari polimik atas kelemahan dan kelebihan sistem avaluasi pendidikan selama ini, pemerintah tetap melakukan evaluasi pendidikan dengan menggunakan sistem ujian nasional dengan pola 40% ujian sekolah dan 60% ujian nasional. Untuk mensukseskan pelaksanaan ujian nasional sekarang ini pemerintah telah mengeluarkan dana Milliaran rupiah. Artinya, kalau ditinjau dari sisi ekonomi bahwa begitu mahalnya pemerintah “membayar” untuk mewujudkan sekaligus membangun sebuah kualitas pendidikan. Menyadari akan hal itu, maka sewajarnyalah setiap elemen bangsa mengawal dan mewujudkan ujian nasional bermartabat dan berkualitas sekarang ini secara sadar. Karena bagaimanapun untuk membangun pendidikan dan bangsa yang berkualitas tentu harus terbangun dari proses-proses yang berkualitas pula. Adalah sebuah ironi besar apabila masyarkat mengharapankan pendidikan yang berkualitas sementara komponen-komponen proses tidak dibangun di atas dasar-dasar yang berkualitas. Maka dari itu, pelaksanaan ujian nasional sekarang ini harus dilakukan dengan cara-cara yang berkualitas dan berlandaskan niat dan motivasi yang berkualitas pula.
Terlepas dari polimik atas kelemahan dan kelebihan sistem avaluasi pendidikan selama ini, pemerintah tetap melakukan evaluasi pendidikan dengan menggunakan sistem ujian nasional dengan pola 40% ujian sekolah dan 60% ujian nasional. Untuk mensukseskan pelaksanaan ujian nasional sekarang ini pemerintah telah mengeluarkan dana Milliaran rupiah. Artinya, kalau ditinjau dari sisi ekonomi bahwa begitu mahalnya pemerintah “membayar” untuk mewujudkan sekaligus membangun sebuah kualitas pendidikan. Menyadari akan hal itu, maka sewajarnyalah setiap elemen bangsa mengawal dan mewujudkan ujian nasional bermartabat dan berkualitas sekarang ini secara sadar. Karena bagaimanapun untuk membangun pendidikan dan bangsa yang berkualitas tentu harus terbangun dari proses-proses yang berkualitas pula. Adalah sebuah ironi besar apabila masyarkat mengharapankan pendidikan yang berkualitas sementara komponen-komponen proses tidak dibangun di atas dasar-dasar yang berkualitas. Maka dari itu, pelaksanaan ujian nasional sekarang ini harus dilakukan dengan cara-cara yang berkualitas dan berlandaskan niat dan motivasi yang berkualitas pula.
Tidak bisa dipungkiri dan dinafikan bahwa
rendahnya kualitas pendidikkan dan kualitas bangsa ini sesungguhnya disebabkan
oleh rendahnya kualitas proses evaluasi yang dilakuan selama ini. Hal ini
dibuktikan oleh beberapa fakta kecurangan dan manipulasi pada saat ujian
nasional berlangsung. Walaupun kecurangan dalam ujian nasional tersebut diklime
bersifat kasuistis akan tetapi hal tersebut sesungguhnya merupakan peristiwa
gunung es. Disadari ataupun tidak, pelaksanaan ujian nasional (UN) bangsa ini
masih sangat jauh dari aspek-aspek profesional dan kualitas mutu yang diharapan. Tidak seperti
bangsa-bangsa lain yang berani menempatkan ujin nasional (UN) sebagai kebutuhan,
kehormatan, dan tujuan bersama dari setiap lapisan masyarakat. Oleh sebab
itulah pelaksanaan ujian atau evaluasi di beberapa negara maju berjalan secara
profesional serta murni demi mewujudkan dan membangun suatu proses pendidikan
manusia yang berkualitas. Lain halnya dengan pelaksanaan ujian nasional di
negeri ini yang selalu dirundung masalah setiap pelaksanaanya. Mulai dari
masalah alokasi anggaran, politisasi pelaksanaan UN ditingkat Dinas dan
sekolah, politisasi anggaran pencetakan soal dan lembar jawaban, distribusi
soal, pembocoran soal oleh oknum guru, kecurangan oleh oknum panitia ujian
ditingkat rayon dan Dinas sampai pada persoalan stress dan beban psikologi yang
dialami oleh peserta didik dalam menghadapi ujian. Ironisnya
persoalan-persoalan ini bak banjir tahunan artinya terjadi secara rutin di setiap
pelaksanaan ujian nasional tanpa ada perbaikan yang signifikan. Selain itu,
pelaksanaan UN khususnya di beberapa daerah terkesan terjebak pada pola pikir dan
budaya instan, hal ini bisa dilihat dari
pola dan proses persiapan ujian nasional yang dilakukan oleh hampir seluruh
sekolah di negeri ini yang cenderung anti proses. Di provensi NTB misalnya, euforia
persiapan menjelang UN sangat luar biasa, bahkan kalau ditinjau secara kritis
justru memiliki dampak negatif sekaligus mencerminkan kelemahan pola pendidikan
yang dilakukan selama ini. Sebagai contoh, untuk meraih kelulusan 100% baik
secara kuantitas maupun kualitas, pemerintah dan sekolah melakukan pembentukan
panitia kelulusan UN secara khusus, di tangan tim inilah selanjutnya
persipan-persiapan UN dilakukan. Bahkan tim yang dibentuk ini tidak hanya
bertugas mempersiapkan kegiatan UN semata tetapi juga bertugas “menghantarkan”
siswa agar bisa lulus dengan nilai terbaik. Disinilah, terlihat jelas bahwa
pelaksanaan UN sesunggunya tidak lagi murni mewujudkan dan membangun suatu
kualitas pendidikan, akan tetapi telah ditumpangin oleh kepentingan dan
motivasi pencitraan demi mengejar popularitas sekolah dan nama baik pemerintah
atau popularitas segelintir orang. Untuk itulah patut kita bertanya,
sesungguhnya Ujian Nasional (UN) ini untuk apa dan demi siapa? Di sinilah pertaruhan
moral bagi para guru dan pemangku pendidik di dalam melaksanakan UN tersebut.
Selain itu, persiapan UN yang dilakukan oleh
beberapa sekolah akhir-kahir ini terkesan instan dan “kejar storan” lulus 100%.
Misalnya, melakukan try out berlapis,
bimbel kali-kali, menambah jam pada mata pelajaran yang diUNkan, bahkan
menginapkan siswa di sekolah. Semua persiapan ini sesungguhnya tidaklah salah
justru harus dilakukan karena bagaimanapun bentuk persiapan di atas merupakan
bagian dari pendidikan dan pengajaran. Akan tetapi, menjadi keliru ketika semua
itu dilakukan hanya di saat menjelang
UN, sejatinya semua persiapan tersebut tidak hanya dilakukan untuk menghadapi
dan memenuhi kebutuhan ujian nasional semata. Sebab kalau persiapan tersebut
sekedar hanya untuk kebutuhan UN, justru sekolah dan pemerintah sedang
membudidayakan budaya instan dalam logika dan lingkungan pendidikan. Artinya,
tidak ada UN maka tidak ada belajar, tidak ada UN maka tidak ada try out, bimbel, dan seterusnya. Bahkan
tidak ada UN maka tidak ada keseriusan semua pihak untuk memperhatikan
persoalan mutu dan kualitas, yang selama ini mutu diurus “sambi lalu” tanpa
mengerahkan segala potensi dan perhatian seperti yang terjadi pada saat
menjelang UN. Jika semua itu dilakukan semata-mata sekedar memenuhi kebutuhan
UN maka sesungguhnya hanya memperkokoh prilaku-prilaku instan dan cepat saji. Padahal
semua guru sadar bahwa pendidikan yang sejati adalah mambangun dan menyusun
bata-bata budaya dan peradaban yang berkualitas dan bernilai. Guru juga tahu
bahwa pendidikan adalah suatu proses itu sendiri sehingga membangun kualitas
dan mutu pendidikan adalah mengikuti proses yang cukup panjang. Oleh karena
itu, cukuplah ironis jika seorang mau meraih kualitas pendidikan yang maksimal
tanpa memenuhi dan memperhatikan aspek prosesnya.
Ujian
nasional (UN), sejatinya adalah pertaruhan moral bagi para guru dan pemangku
pendidikan lain dalam mewujudkn mengawal pelaksanaan UN yang lebih mertabat. Karena
bagaimanapun ujian nasional merupakan perbuatan dan tanggung jawab kolektive
yang terencana. Sehingga untuk menjaga mutu dari pelaksanaan ujian nasional
sangat tergantung pada seberapa jauh guru melibatkan aspek moral di dalam melaksanakan
ujian nasional tersebut. Oleh karena UN adalah pekerjaan bersama antara beberapa
elemen terkait maka UN menjadi tanggung jawab moral kolektiv dan dilakukan atas
dasar kejujuran kolektiv pula. Walaupun UN merupakan tanggung jawab bersama
semua pihak pemangku pendidikan, baik dinas setempat, sekolah, pihak
independen, maupun sub-sub rayon bukan berarti UN juga harus “diselamatkan rame-rame”
demi meraih prestasi dan popularitas tanpa mempertimbangkan moral dan kata hati
nurani.
Penulis
adalah Dosen IAIN Mataram sekaligus Pemerhati Pendidkan
semoga bermanfaat
BalasHapus