Kamis, 12 April 2012

UJIAN NASIONAL (UN): SEBUAH PERTARUHAN MORAL


Oleh: Abdul Malik
Pendidikan merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan di setiap negara. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2004 pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses pembelajaran. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang mulia ini disusunlah kurikulum yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan dan metode pembelajaran. Kurikulum digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan yangbtelah ditentukan. Untuk melihat tingkat pencapaian tujuan pendidikan, diperlukan suatu bentuk evaluasi.Dengan demikian evaluasi pendidikan merupakan salah satu komponen utama yang tidak dapat dipisahkan dari rencana pendidikan. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua bentuk evaluasi dapat dipakai untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Informasi tentang tingkat keberhasilan pendidikan akan dapat dilihat apabila alat evaluasi yang digunakan sesuai dan dapat mengukur setiap tujuan.
            Terlepas dari polimik atas kelemahan dan kelebihan sistem avaluasi pendidikan selama ini, pemerintah tetap melakukan evaluasi pendidikan dengan menggunakan sistem ujian nasional dengan pola 40% ujian sekolah dan 60% ujian nasional. Untuk mensukseskan pelaksanaan ujian nasional sekarang ini pemerintah telah mengeluarkan dana Milliaran rupiah. Artinya, kalau ditinjau dari sisi ekonomi bahwa begitu mahalnya pemerintah “membayar” untuk mewujudkan sekaligus membangun sebuah kualitas pendidikan. Menyadari akan hal itu, maka sewajarnyalah setiap elemen bangsa mengawal dan mewujudkan ujian nasional bermartabat dan berkualitas sekarang ini secara sadar. Karena bagaimanapun untuk membangun pendidikan dan bangsa yang berkualitas tentu harus terbangun dari proses-proses yang berkualitas pula. Adalah sebuah ironi besar apabila masyarkat mengharapankan pendidikan yang berkualitas sementara komponen-komponen proses tidak dibangun di atas dasar-dasar yang berkualitas. Maka dari itu, pelaksanaan ujian nasional sekarang ini harus dilakukan dengan cara-cara yang berkualitas dan berlandaskan niat dan motivasi yang berkualitas pula.
   Tidak bisa dipungkiri dan dinafikan bahwa rendahnya kualitas pendidikkan dan kualitas bangsa ini sesungguhnya disebabkan oleh rendahnya kualitas proses evaluasi yang dilakuan selama ini. Hal ini dibuktikan oleh beberapa fakta kecurangan dan manipulasi pada saat ujian nasional berlangsung. Walaupun kecurangan dalam ujian nasional tersebut diklime bersifat kasuistis akan tetapi hal tersebut sesungguhnya merupakan peristiwa gunung es. Disadari ataupun tidak, pelaksanaan ujian nasional (UN) bangsa ini masih sangat jauh dari aspek-aspek profesional dan  kualitas mutu yang diharapan. Tidak seperti bangsa-bangsa lain yang berani menempatkan ujin nasional (UN) sebagai kebutuhan, kehormatan, dan tujuan bersama dari setiap lapisan masyarakat. Oleh sebab itulah pelaksanaan ujian atau evaluasi di beberapa negara maju berjalan secara profesional serta murni demi mewujudkan dan membangun suatu proses pendidikan manusia yang berkualitas. Lain halnya dengan pelaksanaan ujian nasional di negeri ini yang selalu dirundung masalah setiap pelaksanaanya. Mulai dari masalah alokasi anggaran, politisasi pelaksanaan UN ditingkat Dinas dan sekolah, politisasi anggaran pencetakan soal dan lembar jawaban, distribusi soal, pembocoran soal oleh oknum guru, kecurangan oleh oknum panitia ujian ditingkat rayon dan Dinas sampai pada persoalan stress dan beban psikologi yang dialami oleh peserta didik dalam menghadapi ujian. Ironisnya persoalan-persoalan ini bak banjir tahunan artinya terjadi secara rutin di setiap pelaksanaan ujian nasional tanpa ada perbaikan yang signifikan. Selain itu, pelaksanaan UN khususnya di beberapa daerah terkesan terjebak pada pola pikir dan budaya  instan, hal ini bisa dilihat dari pola dan proses persiapan ujian nasional yang dilakukan oleh hampir seluruh sekolah di negeri ini yang cenderung anti proses. Di provensi NTB misalnya, euforia persiapan menjelang UN sangat luar biasa, bahkan kalau ditinjau secara kritis justru memiliki dampak negatif sekaligus mencerminkan kelemahan pola pendidikan yang dilakukan selama ini. Sebagai contoh, untuk meraih kelulusan 100% baik secara kuantitas maupun kualitas, pemerintah dan sekolah melakukan pembentukan panitia kelulusan UN secara khusus, di tangan tim inilah selanjutnya persipan-persiapan UN dilakukan. Bahkan tim yang dibentuk ini tidak hanya bertugas mempersiapkan kegiatan UN semata tetapi juga bertugas “menghantarkan” siswa agar bisa lulus dengan nilai terbaik. Disinilah, terlihat jelas bahwa pelaksanaan UN sesunggunya tidak lagi murni mewujudkan dan membangun suatu kualitas pendidikan, akan tetapi telah ditumpangin oleh kepentingan dan motivasi pencitraan demi mengejar popularitas sekolah dan nama baik pemerintah atau popularitas segelintir orang. Untuk itulah patut kita bertanya, sesungguhnya Ujian Nasional (UN) ini untuk apa dan demi siapa? Di sinilah pertaruhan moral bagi para guru dan pemangku pendidik di dalam melaksanakan UN tersebut.
 Selain itu, persiapan UN yang dilakukan oleh beberapa sekolah akhir-kahir ini terkesan instan dan “kejar storan” lulus 100%. Misalnya, melakukan try out berlapis, bimbel kali-kali, menambah jam pada mata pelajaran yang diUNkan, bahkan menginapkan siswa di sekolah. Semua persiapan ini sesungguhnya tidaklah salah justru harus dilakukan karena bagaimanapun bentuk persiapan di atas merupakan bagian dari pendidikan dan pengajaran. Akan tetapi, menjadi keliru ketika semua itu dilakukan hanya di saat  menjelang UN, sejatinya semua persiapan tersebut tidak hanya dilakukan untuk menghadapi dan memenuhi kebutuhan ujian nasional semata. Sebab kalau persiapan tersebut sekedar hanya untuk kebutuhan UN, justru sekolah dan pemerintah sedang membudidayakan budaya instan dalam logika dan lingkungan pendidikan. Artinya, tidak ada UN maka tidak ada belajar, tidak ada UN maka tidak ada try out, bimbel, dan seterusnya. Bahkan tidak ada UN maka tidak ada keseriusan semua pihak untuk memperhatikan persoalan mutu dan kualitas, yang selama ini mutu diurus “sambi lalu” tanpa mengerahkan segala potensi dan perhatian seperti yang terjadi pada saat menjelang UN. Jika semua itu dilakukan semata-mata sekedar memenuhi kebutuhan UN maka sesungguhnya hanya memperkokoh prilaku-prilaku instan dan cepat saji. Padahal semua guru sadar bahwa pendidikan yang sejati adalah mambangun dan menyusun bata-bata budaya dan peradaban yang berkualitas dan bernilai. Guru juga tahu bahwa pendidikan adalah suatu proses itu sendiri sehingga membangun kualitas dan mutu pendidikan adalah mengikuti proses yang cukup panjang. Oleh karena itu, cukuplah ironis jika seorang mau meraih kualitas pendidikan yang maksimal tanpa memenuhi dan memperhatikan aspek prosesnya.
Ujian nasional (UN), sejatinya adalah pertaruhan moral bagi para guru dan pemangku pendidikan lain dalam mewujudkn mengawal pelaksanaan UN yang lebih mertabat. Karena bagaimanapun ujian nasional merupakan perbuatan dan tanggung jawab kolektive yang terencana. Sehingga untuk menjaga mutu dari pelaksanaan ujian nasional sangat tergantung pada seberapa jauh guru melibatkan aspek moral di dalam melaksanakan ujian nasional tersebut. Oleh karena UN adalah pekerjaan bersama antara beberapa elemen terkait maka UN menjadi tanggung jawab moral kolektiv dan dilakukan atas dasar kejujuran kolektiv pula. Walaupun UN merupakan tanggung jawab bersama semua pihak pemangku pendidikan, baik dinas setempat, sekolah, pihak independen, maupun sub-sub rayon bukan berarti UN juga harus “diselamatkan rame-rame” demi meraih prestasi dan popularitas tanpa mempertimbangkan moral dan kata hati nurani. 

 Penulis adalah Dosen IAIN Mataram sekaligus Pemerhati Pendidkan

1 komentar: