Minggu, 15 April 2012

GURU ADALAH MANUSIA PEMBELAJAR

Oleh; Abdul Malik
           
Kalau kita belajar dari guru yang terus belajar, maka rasanya bagaikan minum dari sebuah pancuran mata air segar yang terus mengalir; tetapi kalau kita belajar dari guru yang tidak lagi belajar, maka ibaratnya kita minum dari sebuah genangan air yang tidak mengalir sekaligus tidak segar.
 (Motto Inggris)
            Begitulah bunyi salah satu motto yang dipajang pada salah satu sekolah di Inggris. Walaupun sekedar moto, tetapi pesan moral dari moto di atas memberikan isyarat dan makna akan pentingnya seorang guru untuk terus memperbaiki dan membangun kompetensinya secara kontinue. Keberadaan guru sebagai pilar utama dalam membangun kualitas pendidikan merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-ptawar lagi, oleh sebab itulah setiap bangsa terus berusaha untuk meningkatkan kesadaran guru untuk terus meningkatkan kualitasnya dengan bergai macam cara dan kebijakan. Di Indonesia misalnya,  adanya sertifikasi guru, PLPG, Uji kompetnsi dan kegiatan lainnya merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk membangun kualitas guru tersebut. Sayangnya kebijakan tersebut selamanya tetap menjadi suatu kebijakan tanpa mampu mendorong terjadinya perubahan kemampuan guru. Perubahan dan peningkatan kualitas guru pada dasarnya tidak dapat diwujudkan dari kebijakan atau faktor eksternal semata akan tetapi lebih dipengaruhi oleh faktor internal yakni lahir dari kesadaran dan niat guru itu sendiri untuk berubah dan maju.  
 Diantara masalah pendidikan yang menjadi perhatian pemerintah adalah persoalan mutu guru. Bukanlah menjadi rahasia umum bahwa rendahnya kualitas proses pendidikan dan output pendidikan sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kualitas guru yang terlibat di dalamnya. Oleh sebab itulah, banyak para ahli pendidikan meyakini bahwa kualitas guru adalah kunci utama kemajuan bangsa. Menyadari beban tugas tersebut, seorang guru sejatinya harus mampu mengembangkan dirinya terus menerus, baik meningkatkan budaya belajar (baca), menulis, maupun budaya riset. Rendahnya budaya belajar guru dalam arti kurangnya minat baca, menulis, dan riset para guru ini menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan dan pengajaran di dalam kelas secara holistik. Padahal ketiga hal ini merupakan modalitas belajar guru yang besar yang pada akhirnya mewujudkan sekaligus membantu keberhasilan guru dalam tugas pendidikan dan pengajarannya.
Hasil survey yang dilakukan pada guru sekolah SD, dan SLTP  di salah satu Kabupaten yang ada di provensi Nusa Tenggara Barat tahun 2009-2010, bahwa 79% guru di sekolah tersebut memiliki masalah dengan daya belajar (learning capabality). Daya belajar sesungguhnya merupakan modalitas belajar bagi guru untuk bisa mengembangkan dirinya sebagai pendidik dan pengajar. Rendah atau lemahnya daya belajar (learning capabelity) tentu menghambat terwujudnya budaya belajar dikalangan guru khususnya dan masyarakat umumnya. Karena bagaimanapun budaya belajar dapat diwujudkan dengan maksimal apabila dimotori dan didorong dari dalam guru itu sendiri atau disebut dengan kompetensi soft skill. Sementara dorongan dari luar atau disebut dengan hard skill seperti perangkat kebijakan, media belajar, sumber belajar, lingkungan sekolah, dan lain-lain selama ini terbukti tidak memberikan kontribusi yang berarti bagi suatu perubahan diri secara maksimal. Oleh sebab itulah, tidak heran kemudian kenapa pendidikan dan pelatihan guru selama ini, cenderung  gagal dan tidak berdampak. Karena konsep pendidik dan pelatihan selama ini lebih memperhatikan aspek eksternal yang berupa hard skill dibandingkan aspek soft skill seperti motivasi diri, minat, kesadaran, kepercayaan,dan pengaruh, yang sejatinya menjadi tujuan utama dari pendidikan dan pelatihan itu sendiri. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahw rendahnya budaya belajar guru ini terbangun dari rendahnya kesadaran dan minat baca serta menulis guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar.
Terkait dengan hal itu, ada dua hal yang saling terkait satu sama lain dalam peningkatan kompetensi sekaligus profesionalisme guru. Yakni learning capabelity (daya belajar) dan teaching competence (kemampuan mengajar). learning capabelity (daya belajar) adalah kemampuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemahiran yang telah dimiliki dengan usaha sendiri, tanpa tergantung kepada bantuan atau bimbingan dari orang lain atau faktor luar. Diantara bentuk daya belajar tersebut adalah rasa ingin tau, motivasi diri, daya evaluasi diri, minat, adanya kemauan, kepercayaan diri, kekuatan niat, dan lain-lain. Sementara teaching competence (kemampuan mengajar) adalah dampak langsung dari adanya daya belajar yakni terciptanya kemampuan untuk mengolah segala potensi baik dari dalam diri maupun dari luar untuk kepentingan mengajar sehingga tercapai tujuan belajar. Perlu ditegaskan kembali bahwa guru profesional yang berkarakter adalah guru yang selalu berusaha untuk terus menerus belajar demi meningkatkan kemampuan mengajarnya. Guru profesional sejati tidak hanya mengandalkan pengalaman semata sebagai referensi utama dalam mengajar. Akan tetapi, pengalaman yang ada harus dielaborasi, dipadukan, dikembangkan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan, teknologi informasi dan masyarakat global dewasa ini. Dan yang lebih penting seorang guru di era transformasi informasi yang terbuka ini, guru harus siap membuka diri terhadap perkembangan informasi dan pengetahuan yang berkembang. Sehingga dengan demikian seorang guru dapat meng-update ilmunya setiap saat. Salah satu permasalahan pendidikan sekarang ini adalah lemah dan kurangnya kemampuan guru “mengikat makna” pendidikan dan pengajarannya.  Itulah sebabnya kenapa pendidikan yang dilakukan sekarang ini kurang terasa hidup dan berpengaruh terhadap kehidupan peserta didik. Apalagi perkembangan jaman sekarang ini, memungkinkan siswa mendapatkan informasi dari beragam sumber dengan cepat. Akibatnya, siswa menjadi lebih cerdas, kritis dan lebih cepat serta banyak tahu dari pada gurunya. Inilah salah satu pertimbangannya mengapa guru harus selalu belajar.
Indikator  rendahnya budaya belajar guru di Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah rendahnya indeks prestasi manusia di skala nasional kemudian minimnya guru mengunjungi perpustakaan. Baik perpustakaan sekolah maupun perpustakan daerah atau Kota. Sementara indikator yang lain adalah minimnya karya tulis yang dihasilkan oleh guru, baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan. Adanya perpustakaan sekolah ataupun perpustakaan kota dan daerah sesungguhnya bertujuan membantu setiap guru dan masyarakat untuk bisa mengembangkan dirinya secara maksimal. Artinya semakin cerdas dan luas wawasan seorang guru maka semakin berpelung dan mudah peserta didik untuk memperoleh ilmu yang banyak. Selain itu, semakin meningkatnya wawasan dan pengetahuan seorang guru akan sangat membantu merangsang, memotivasi, serta memberikan alternatif informasi pengetahuan bagi peserta didik dalam pembelajaran. Selama ini guru terkesan mengajar bermodalkan pengetahuan yang minim dan mengandalkan pengalaman yang sudah “berkarat”. Sehingga pada saat mengajar guru hanya mengulang hal yang sama dan akhirnya membosankan bagi peserta didik.  Ada beberapa alasan terkait dengan menurunnya daya belajar guru ini. Pertama, tidak adanya motivasi diri dan motivasi pimpinan untuk meningkatkan kemampuan guru, kedua kurangnya kegelisahan guru terhadap mutu peserta didik ketiga, terjadinya disorientasi terhadap pemahaman guru atas tupoksi dan peran guru itu sendiri keempat, tidak adanya kesempatan dan waktu luang untuk belajar, kelima kurang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, keenam kurangnya penghargaan terhadap guru yang berprestasi sekaligus lemahnya phunisment (hukuman) terhadap guru yang bermutu rendah, dan ketujuh guru sering merasa cukup dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki. Kedelapan, lemahnya rasa tanggung jawab guru terhadap profesi keguruan yang dijalankan.  Semua alasan di atas, merupakan diantara dari sekian banyak alasan sekaligus penyebab kenapa guru tidak dapat membangun budaya belajar secara maksimal selama ini. Oleh karena itu, apabila pemerintah dan pemangku pendidikan ingin mewujudkan budaya belajar di kalangan guru maka alasan-alasan di atas harus menjadi perhatian khusus untuk dipecahkan. Akhirnya semoga guru di Provinsi NTB kedepan mampu menjadikan tradisi membaca dan menulis sebagai budaya demi meraih pendidikan yang berkualitas sekaligus mewujudkan guru sebaga manusia pembelajar.      

Penulis adalah dosen IAIN Mataram Sekaligus Pemerhati Pendidikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar