Oleh; Abdul Malik
Kalau kita belajar dari guru yang
terus belajar, maka rasanya bagaikan minum dari sebuah pancuran mata air segar
yang terus mengalir; tetapi kalau kita belajar dari guru yang tidak lagi
belajar, maka ibaratnya kita minum dari sebuah genangan air yang tidak mengalir
sekaligus tidak segar.
(Motto Inggris)
Begitulah bunyi salah satu motto
yang dipajang pada salah satu sekolah di Inggris. Walaupun sekedar moto, tetapi
pesan moral dari moto di atas memberikan isyarat dan makna akan pentingnya
seorang guru untuk terus memperbaiki dan membangun kompetensinya secara
kontinue. Keberadaan guru sebagai pilar utama dalam membangun kualitas
pendidikan merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-ptawar lagi, oleh sebab itulah
setiap bangsa terus berusaha untuk meningkatkan kesadaran guru untuk terus
meningkatkan kualitasnya dengan bergai macam cara dan kebijakan. Di Indonesia
misalnya, adanya sertifikasi guru, PLPG,
Uji kompetnsi dan kegiatan lainnya merupakan kebijakan yang diambil pemerintah
untuk membangun kualitas guru tersebut. Sayangnya
kebijakan tersebut selamanya tetap menjadi suatu kebijakan tanpa mampu mendorong
terjadinya perubahan kemampuan guru. Perubahan dan peningkatan kualitas guru pada
dasarnya tidak dapat diwujudkan dari kebijakan atau faktor eksternal semata
akan tetapi lebih dipengaruhi oleh faktor internal yakni lahir dari kesadaran
dan niat guru itu sendiri untuk berubah dan maju.
Diantara masalah pendidikan yang menjadi
perhatian pemerintah adalah persoalan mutu guru. Bukanlah menjadi rahasia umum
bahwa rendahnya kualitas proses pendidikan dan output pendidikan sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kualitas
guru yang terlibat di dalamnya. Oleh sebab itulah, banyak para ahli pendidikan
meyakini bahwa kualitas guru adalah kunci utama kemajuan bangsa. Menyadari
beban tugas tersebut, seorang guru sejatinya harus mampu mengembangkan dirinya
terus menerus, baik meningkatkan budaya belajar (baca), menulis, maupun budaya
riset. Rendahnya budaya belajar guru dalam arti kurangnya minat baca, menulis,
dan riset para guru ini menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan dan
pengajaran di dalam kelas secara holistik. Padahal ketiga hal ini merupakan
modalitas belajar guru yang besar yang pada akhirnya mewujudkan sekaligus
membantu keberhasilan guru dalam tugas pendidikan dan pengajarannya.
Hasil survey yang dilakukan pada
guru sekolah SD, dan SLTP di salah satu Kabupaten
yang ada di provensi Nusa Tenggara Barat tahun 2009-2010, bahwa 79% guru di sekolah
tersebut memiliki masalah dengan daya belajar (learning capabality). Daya belajar sesungguhnya merupakan modalitas
belajar bagi guru untuk bisa mengembangkan dirinya sebagai pendidik dan
pengajar. Rendah atau lemahnya daya belajar (learning capabelity) tentu menghambat terwujudnya budaya belajar
dikalangan guru khususnya dan masyarakat umumnya. Karena bagaimanapun budaya
belajar dapat diwujudkan dengan maksimal apabila dimotori dan didorong dari
dalam guru itu sendiri atau disebut dengan kompetensi soft skill. Sementara dorongan dari luar atau disebut dengan hard skill seperti perangkat kebijakan,
media belajar, sumber belajar, lingkungan sekolah, dan lain-lain selama ini
terbukti tidak memberikan kontribusi yang berarti bagi suatu perubahan diri secara
maksimal. Oleh sebab itulah, tidak heran kemudian kenapa pendidikan dan
pelatihan guru selama ini, cenderung gagal
dan tidak berdampak. Karena konsep pendidik dan pelatihan selama ini lebih
memperhatikan aspek eksternal yang berupa hard
skill dibandingkan aspek soft skill
seperti motivasi diri, minat, kesadaran, kepercayaan,dan pengaruh, yang
sejatinya menjadi tujuan utama dari pendidikan dan pelatihan itu sendiri. Sehingga
tidak bisa dipungkiri bahw rendahnya budaya belajar guru ini terbangun dari
rendahnya kesadaran dan minat baca serta menulis guru dalam menjalankan
tugasnya sebagai pendidik dan pengajar.
Terkait dengan hal itu, ada dua hal
yang saling terkait satu sama lain dalam peningkatan kompetensi sekaligus
profesionalisme guru. Yakni learning
capabelity (daya belajar) dan teaching
competence (kemampuan mengajar). learning
capabelity (daya belajar) adalah kemampuan untuk meningkatkan pengetahuan,
keterampilan dan kemahiran yang telah dimiliki dengan usaha sendiri, tanpa
tergantung kepada bantuan atau bimbingan dari orang lain atau faktor luar. Diantara
bentuk daya belajar tersebut adalah rasa ingin tau, motivasi diri, daya
evaluasi diri, minat, adanya kemauan, kepercayaan diri, kekuatan niat, dan
lain-lain. Sementara teaching competence
(kemampuan mengajar) adalah dampak langsung dari adanya daya belajar yakni
terciptanya kemampuan untuk mengolah segala potensi baik dari dalam diri maupun
dari luar untuk kepentingan mengajar sehingga tercapai tujuan belajar. Perlu
ditegaskan kembali bahwa guru profesional yang berkarakter adalah guru yang
selalu berusaha untuk terus menerus belajar demi meningkatkan kemampuan
mengajarnya. Guru profesional sejati tidak hanya mengandalkan pengalaman semata
sebagai referensi utama dalam mengajar. Akan tetapi, pengalaman yang ada harus
dielaborasi, dipadukan, dikembangkan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan,
teknologi informasi dan masyarakat global dewasa ini. Dan yang lebih penting
seorang guru di era transformasi informasi yang terbuka ini, guru harus siap
membuka diri terhadap perkembangan informasi dan pengetahuan yang berkembang.
Sehingga dengan demikian seorang guru dapat meng-update ilmunya setiap saat. Salah satu permasalahan pendidikan
sekarang ini adalah lemah dan kurangnya kemampuan guru “mengikat makna” pendidikan
dan pengajarannya. Itulah sebabnya
kenapa pendidikan yang dilakukan sekarang ini kurang terasa hidup dan
berpengaruh terhadap kehidupan peserta didik. Apalagi perkembangan jaman
sekarang ini, memungkinkan siswa mendapatkan informasi dari beragam sumber
dengan cepat. Akibatnya, siswa menjadi lebih cerdas, kritis dan lebih cepat
serta banyak tahu dari pada gurunya. Inilah salah satu pertimbangannya mengapa
guru harus selalu belajar.
Indikator rendahnya budaya belajar guru di Provinsi
Nusa Tenggara Barat adalah rendahnya indeks prestasi manusia di skala nasional
kemudian minimnya guru mengunjungi perpustakaan. Baik perpustakaan sekolah
maupun perpustakan daerah atau Kota. Sementara indikator yang lain adalah
minimnya karya tulis yang dihasilkan oleh guru, baik yang dipublikasikan maupun
yang tidak dipublikasikan. Adanya perpustakaan sekolah ataupun perpustakaan kota
dan daerah sesungguhnya bertujuan membantu setiap guru dan masyarakat untuk
bisa mengembangkan dirinya secara maksimal. Artinya semakin cerdas dan luas
wawasan seorang guru maka semakin berpelung dan mudah peserta didik untuk memperoleh
ilmu yang banyak. Selain itu, semakin meningkatnya wawasan dan pengetahuan seorang
guru akan sangat membantu merangsang, memotivasi, serta memberikan alternatif
informasi pengetahuan bagi peserta didik dalam pembelajaran. Selama ini guru
terkesan mengajar bermodalkan pengetahuan yang minim dan mengandalkan
pengalaman yang sudah “berkarat”. Sehingga pada saat mengajar guru hanya
mengulang hal yang sama dan akhirnya membosankan bagi peserta didik. Ada beberapa alasan terkait dengan menurunnya
daya belajar guru ini. Pertama, tidak
adanya motivasi diri dan motivasi pimpinan untuk meningkatkan kemampuan guru, kedua kurangnya kegelisahan guru
terhadap mutu peserta didik ketiga,
terjadinya disorientasi terhadap pemahaman guru atas tupoksi dan peran guru itu
sendiri keempat, tidak adanya
kesempatan dan waktu luang untuk belajar, kelima
kurang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, keenam kurangnya penghargaan terhadap guru yang berprestasi
sekaligus lemahnya phunisment
(hukuman) terhadap guru yang bermutu rendah, dan ketujuh guru sering merasa cukup dengan pengetahuan dan pengalaman
yang telah dimiliki. Kedelapan,
lemahnya rasa tanggung jawab guru terhadap profesi keguruan yang
dijalankan. Semua alasan di atas, merupakan
diantara dari sekian banyak alasan sekaligus penyebab kenapa guru tidak dapat
membangun budaya belajar secara maksimal selama ini. Oleh karena itu, apabila
pemerintah dan pemangku pendidikan ingin mewujudkan budaya belajar di kalangan
guru maka alasan-alasan di atas harus menjadi perhatian khusus untuk dipecahkan.
Akhirnya semoga guru di Provinsi NTB kedepan mampu menjadikan tradisi membaca
dan menulis sebagai budaya demi meraih pendidikan yang berkualitas sekaligus
mewujudkan guru sebaga manusia pembelajar.
Penulis adalah
dosen IAIN Mataram Sekaligus Pemerhati Pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar