OLEH;
ABDUL MALIK, M.Ag., M.Pd
Akhir-akhir ini publik NTB dan dunia
akademisi dikejutkan oleh kasus oknum “dosen palsu” yang dilaporkan oleh
sejumlah mahasiswa ke polisi lantaran melakukan penipuan berkedok jasa
pembuatan skripsi. Fenomena tersebut sebenarnya fenomena yang tidak asing dan
klasik di dunia Perguruan Tinggi atau akademis manapun. Plagiarisme adalah
salah satu penyakit akademis yang belum disoroti secara serius oleh pemerintah
sampai sekarang ini. Oleh sebab itu, para penikmat plagiat tersebut semakin
tumbuh subur di dunia akademis. Kasus yang terjadi di salah satu Perguruan Tinggi
di Mataram tersebut merupakan peristiwa gunung es yang melanda dunia Perguruan
Tinggi di NTB sekarang ini yang sulit dipungkiri keberadaannya, oleh karena itu
sejatinya pemerintah, Perguruan Tinggi, dan masyarakat (pengguna atau pemakai
PT) seharusnya mengambil peran aktif untuk mewujudkan akademisi dan PT
(Perguruan Tinggi) yang bebas dari budaya plagiarisme sekaligus malapraktek pendidikan lainnya.
Dewasa ini, menjamurnya kasus
plagiarisme dikalangan mahasiswa dan dosen serta terjadinya malapraktek
pendidikan dalam berbagai modus sesungguhnya bukan semata-mata kesalahan dari
mahasiswa itu sendiri akan tetapi juga banyak kelemahan-kelemahan dari PT (Perguruan
Tinggi) itu sendiri yang secara tidak langsung ataupun langsung membuka peluang
terciptanya perilaku plagiarisme dan malapraktek pendidikan itu sendiri. Di
antara kelemahan atau lebih tepatnya disebut sebagai “permasalahan” yang
dihadapai oleh hampir semua Perguruan Tinggi sekarang ini adalah terjadinya
pergeseran sekaligus distorsi fungsi dan tujuan dari Perguruan Tinggi itu
sendiri. Hampir semua Perguruan Tinggi sekarang ini lebih berfungsi sebagai
perusahaan yang memproduksi ijazah, nilai, gelar, dan “sarjana-sarjanaan”.
Tidak heran kemudian, lembaga pendidikan menjelma mejadi mesin
kapitalis, yaitu mesin untuk mencari keuntungan semata. Kapitalisme menjadikan
pendidikan serta pengetahuan yang dihasilkan di dalamnya sebagai komoditi dalam
rangka mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Padahal ketika merkantilisme pengetahuan dan
kapitalisme menjadi fondasi dari institusi pendidikan, maka berbagai bentuk
wacana komersial dan komodifikasi di cangkokkan ke dalam lembaga pendidikan sebagi
alat untuk mencari keuntungan, sehingga
tanpa disadari tugas dan fungsi PT (Perguruan Tinggi) atau lembaga pendidikanpun
telah sedang mengalami distorsi dari makna yang sesungguhnya.
Sekedar untuk mengingatkan kembali,
bahwa kapitalisme adalah sebuah sistem ekonomi yang dibangun berdasarkan sebuah
keyakinan laisssez faire, yang
memberikan kepercayaan penuh pada mekanisme pasar dalam menentukan arah
pertumbuhan ekonomi (Baca: Pasar bebas). Salah satu bentuk utama dari mekanisme
pasar adalah mempertahankan agar pertumbuhan tetap berlangsung, oleh karena itu
di satu pihak, industri harus tetap memproduksi dan di lain pihak masyarakat
harus tetap mengkonsumsi. Oleh karena itu, dalam konteks ini suatu Perguruan
Tinggi (PT) atau lembaga pendidikan harus tetap mewisudakan atau mencetak
sarjana dengan cara apapun yang penting hasrat-hasrat masyarakat untuk meraih
gelar sarjana tetap terpenuhi disamping meraih keuntungan sebanyak-banyaknya.
Dunia pendidikan yang terperangkap di dalam mekanisme pasar, kemudian
menjadikan prinsip-prinsip pasar sebagai
prinsip dasar lembaga pendidikan tersebut maka dengan sendirinya tugas-tugas
pokok lembaga pendidikan (Perguruan Tinggi) yang hakiki menjadi pudar bersama
mesin-mesin kapitalis sejati untuk selamanya.
Kondisi
di atas menjadi semakin mapan ketika masyarakat
kurang memiliki daya kontrol dan kritis terhadap peran Perguruan Tinggi atau
lembaga pendidikan dalam mencetak manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa.
Selain itu juga, masyarakat sebagai pengguna (user) sejatinya lebih selektif
terhadap mutu Perguruan Tinggi yang ada, bukan justru “memanfaatkan” permasalahan
Perguruan Tinggi tersebut sebagai peluang atau “jalan lurus” dan “mudah” untuk
mendapatkan nilai, ijazah, dan wisudah secara prematur. Harus diakui, bahwa
selama ini antara PT (Perguruan Tinggi) dan sebagian masyarakat terkesan
memiliki bubungan mutalisme simbiosis dalam arti negatif, satu sisi Perguruan Tinggi
atau lembaga pendidikan mencari keuntungan sebesar-besarnya sementara di sisi
lain masyarakat menginginkan pendidikan yang cepat saji. Meningkatnya pemintaan
gelar dan ijazah oleh masyarakat berdampak pula pada menjamurnya lembaga
pendidikan yang menawarkan gelar dan ijazah tersebut dengan layanan mudah dan
instan. Tidak heran kemudian sudah berapa banyak kasus ijazah palsu para
pejabat akademis, dan politis yang terungkap selama ini. Fenomena jual beli ijazah menurut Ronal Dore
merupakan salah satu betuk the diploma
diseases (penyakit ijazah), lazimnya penyakit ini tumbuh subur pada
masyarakat kredensial (crdentials).
Menurut Rendall Collin (1979), masyarakat kredensial adalah masyarakat yang
menganggap bahwa ijazah salah satu yang penting
dalam usaha untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi, baik dalam
lembaga sosial, politik, maupun lembaga pendidikan (Kompas, 15 Maret 2012).
Hubungan berklindan antara masyarakat kredensial dengan Perguruan Tinggi
berjiwa kapitalis ini, sesungguhnya semakin menjauhkan lembaga pendidikan atau
Perguruan Tinggi (PT) dari tugas dan tanggung jawab pokok yang seharusnya
diemban oleh semua lembaga pendidikan yang ada.
Sejatinya, Perguruan
Tinggi hadir bukan sekedar sebagai pajangan (pencitraan) dan mencari keuntungan
semata-mata, melainkan bersama-sama dengan masyarakat menjadikan tata kehidupan
yang lebih baik. Itulah mengapa, dalam salah satu tridarma perguruan tinggi ada pengabdian masyarakat (bukan
pengabdian dalam arti sempit seperti pemahaman selama ini) akan tetapi dalam
makan mutualisme simbiosis positif yang lebih holistik dan sistemik. Kemampuan
PT (Perguruan Tinggi) membangun hubungan mutualisme simbiosis dengan masyarakat
tersebut, menjadikan PT (Perguruan Tinggi) lebih bermakna dan bermanfaat bagi
ummat manusia. Menurut Prof.Dr.Ir Dadan Umar D. DEA, Guru Besar Universitas
Trisakti bahwa sebuah PT (Perguruan Tinggi) itu dipandang kalau memiliki buah
pikiran, gagasan, dan pengembangan keilmuan yang dilakukannya untuk masyarakat
luas. Pertanyaan mendasarnya adalah apa dan berapa buah pikir dan gagasan yang
pernah dimunculkan oleh Perguruan Tinggi di NTB selama ini untuk kemasalahatan
ummat ? Di Negera Prancis misalnya, ketika ada kereta cepat yang tergelincir,
atau kecelakaan lainnya yang menyangkut kepentingan publik, pemerintah dan
masyarkat betul-betul menyimak apa penjelasan dan kajian ilmuwan tentang
kejadian tersebut. Perguruan Tinggi (Universitas) menjadi rujukan karena
meyakini bahwa pembangunan kereta cepat benar-benar berdasarkan kajian imiah. Hal
ini sungguh jauh berbeda dengan kondisi Perguruan Tinggi atau universitas yang
ada di Indonesia. Peran Perguruan Tinggi terkesan hanya mencatak sarjana dan
mengumpulkan keuntungan sebanyak-banyaknya, sementara banyak persoalan maha
penting yang menyangkut hajat hidup masyarakat luas jutsru diselesaikan dengan
politisi. Sehingga wajar, ketika banyak persoalan di negeri ini tidak kunjung
selesai dan kalaupun selesai pasti menyisahkan masalah-masalah baru. Kondisi
tersebut merupakan cerminan betapa Perguruan Tinggi sekarang ini tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Oleh
karena itu, kedepan Perguruan Tinggi
harus kembali kepada tugas dan fungsi pokonya seperti yang ditekankan dalam
tridarma Perguruan Tinggi itu sendiri. Perguruan Tinggi harus terus berbenah
dan mengembangkan diri sesuai dengan perkembangan jaman tanpa henti. Hal ini
dapat dilakukan melalui peningkatan kerja sama ataupun memperluas jaringan
dalam berbagai bidang baik lokal maupu global dengan Perguruan Tinggi,
perusahaan, pemerintah, dan masyarakat. Selain itu, kedepan Perguruan Tinggi
harus serius dan berani menghidupkan budaya riset dan publikasi ilmiah dalam
Perguruan Tinggi itu sendiri. Jika Perguruan Tinggi mampu melakukan tigal hal
di atas dengan profesional dan konsisten maka akan terwujud Perguruan Tinggi
yang berkualitas sekaligus berwibawa. Suatu Perguruan Tinggi itu apabila sudah menjadi
lembaga pendidikan yang berkualitas, kredibel, dan berwibawa maka akan
berdampak pada pencintraan postif di masyarakat. Serta berdampak pula pada
kualitas dosen, kualitas tata kelola, serta kualitas output dan outcomenya.
Kalau semua elemen Perguruan Tinggi mulai dari mahasiswa sampai rektornya
mendukung terciptanya kondisi di atas maka segala penyakit dan malapraktek yang
terjadi pada dunia Peguruan Tinggi akan dapat teratasi dengan baik. Riset, jaringan luas, publikasi
ilmiah, dan dukungan masyarakat dan pemerintah menjadi modal untuk menjadi Perguruan
Tinggi berkualitas dan berwibawa. Akhirnya, memang sejatinya Perguruan Tinggi
tidak hanya mencetak sarajana, akan tetapi jauh lebih luas dan mulia dari pada
itu, yakni menjadi tiang dari kemajuan peradaban manusia, hingga pada saatnya
nanti masyarakat merasa beruntung memiliki Perguruan Tinggi di sekitarnya
karena pada awalnya masyarakat dan Perguruan Tinggi tersebut telah terbangun hubungan
yang baik .
Penulis adalah Dosen IAIN Mataram
sekaligus Pemerhati Pendidikan